Catatan Intsiawati Ayus

Menyimak Alam Mengkaji Diri

Menyimak Alam Mengkaji Diri

PEKANBARU, RanahRiau - Jika tunduk pada kearifan leluhur, kerusakan alam bumi Riau saat ini mungkin bisa dicegah. Kultur pragmatis manusia modern telah mengubah karakter orang Melayu berlawanan seratus delapan puluh derajat. Padahal, lebih dari ratusan tahun bangsa ini  dikenal sebagai puak pelestari meski pencahariaannya bergantung total pada alam.

Keserakahan bukanlah karakter asli Melayu. Dulu kekayaan alam diolah sebatas kebutuhan hidup sahaja dan bukan untuk dieksploitasi penuh nafsu, sebagaimana ungkapan berikut:

 

Beramu tak merusak kayu

Berkebun tak merusak dusun

Berotan tak merusak hutan

Berkampung tak merusak gunung

Bergetah tak merusak rimba

Berladang tak merusak padang

Berumah tak merusak tanah

 

Kearifan lokal Melayu banyak mengeluarkan terminologi terkait penjagaan ekosistem, seperti ‘Rimba Larangan’, ‘Rimba Kepungan’, ‘Kepungan Sialang’, dan lain-lain. Adat ketika itu menjamin batas-batas pemanfaatan yang bijak untuk hutan tanah. Hutan tanah dibagi ke dalam 4 bahagian: rimba simpanan, tanah ladang dan kebun, rimba kepungan sialang serta tanah pekarangan.

Bagian terdalam yaitu rimba simpanan adalah kawasan lindung yang tak boleh disentuh. Di sanalah tempat plasma nutfah, tumbuhan, hewan, serta resapan air terjaga secara alami. Pemangku adat akan mengenakan sanksi kepada siapa yang berani melanggar batas yang ditetapkan. Setiap yang dirusak harus digantikan dengan yang setara: kayu diambil diganti kayu, hutan dibalak, diganti hutan.

 

Adat orang hidup beriman

Tahu menjaga laut dan hutan

Tahu menjaga kayu dan kayan

Tahu menjaga binatang hutan

Tebasnya tidak menghabiskan

Tebangnya tidak memusnahkan

Bakarnya tidak membinasakan

 

Secara normatif, adat Melayu mencirikan sifat melestarikan alam sebagai bagian dari tanda bahwa seseorang berkepribadian baik, sebagaimana disebutkan Tenas Effendy, dalam ‘Tegak Menjaga Tuah, Duduk Memelihara Marwah’, (BKPBM, Yogyakarta: 2005),

 

Tanda orang berbudi pekerti,

merusak alam ia jauhi,

tanda ingat kehari tua,

laut dijaga bumi dipelihara

 

Dan segala sumber yang tersedia di alam memberikan jaminan keamanan atas kehidupan kita sejauh dijaga dengan baik,

 

Kalau hidup hendak selamat,

pelihara laut beserta selat,

pelihara tanah berhutan lebat,

disitu terkandung rezeki dan rakhmat,

disitu tamsil ibarat,

 disitu terkandung aneka nikmat,

 disitu terkandung beragam manfaat,

disitu terkandung petuah adat.

 

 

Keseimbangan Manusia dan Alam

Masyarakat di Kepulauan Meranti hingga saat ini masih setia dengan tradisi helat ‘bela Kampung’. Tradisi ini merupakan bagian dari upaya masyarakat Melayu dalam menjaga keseimbangan manusia dan alam.  Ikhtiar komunitas lokal dalam menjaga alam itu diekspresikan bukan hanya melalui upaya fisik saja tapi juga usaha-usaha spiritual. Dalam dialek puak Melayu daratan kata’bela’ ini biasanya diucapkan ‘ bolo’ yang artinya merawat atau memelihara.

Keseimbangan manusia dan alam dalam pandangan Melayu ditunjukkan melalui sikap saling melayani satu sama lain. Alam menjaga kehidupan manusia melalui kekayaan yang dimilikinya dan manusia menjaga alam melalui upaya pelestariannya. Alam tidak dipandang sebagai benda mati yang hanya bisa diekploitasi tetapi dipandang sebagai makhluk hidup yang senantiasa berinteraksi dan berkomunikasi dengan manusia sehingga alam dan manusia membentuk satu kesatuan lingkungan terpadu.

Bagi puak Melayu, pohon adalah sumber utama kehidupan manusia. Akarnya menahan air, daunnya  menyediakan udara bersih, batangnya sebagai bahan untuk membangun  rumah, bunganya menyediakan keharuman dan buahnya menyediakan makanan bergizi.

Norma-norma semacam itulah yang membentuk masyarakat adat melayu mulai dari kepenghuluan, pebatinan, sampai kenegerian menjadi masyarakat yang mandiri, sejahtera, sekaligus selaras dengan alam sekitarnya. Kerajaan Melayu lama di samping dikenal makmur juga memiliki kekayaan dan keindahan alam yang tak terpermanai. Adab yang santun terhadap alam juga menciptakan resam harmoni antara manusia dan alam sehingga menciptakan atmosfir kedamaian dan ketentraman di masyarakat.

 

 

Khazanah Kearifan Leluhur

Khazanah nilai dan tuntunan pemeliharan alam yang tersebar dalam petatah-petitih,  pantun, syair, gurindam, talibun, bidal, koba ataupun cogan-cogan kebijaksanaan Melayu menunjukkan betapa kearifan leluhur bukan saja jauh dari perilaku egois tetapi juga sarat nilai dalam mendidik generasi berikutnya. Selain warisan alam yang masih kaya terpelihara, diwariskan pula sistem aturan berharga hasil dari pengalaman yang berhasil. 

‘Menyimak Alam, Mengkaji Diri’ demikian pepatah adat Melayu yang mengajarkan kehati-hatian atau kecermatan mengukur antara kondisi dan kemampuan. Untuk menggali potensi yang ada di alam kita harus pula bisa menakar diri. Jangan sampai upaya memanfaatkan alam berujung pada kerusakan di luar kendali.  Kemampuan mengeksploitasi harus diiringi pula dengan kemampuan melestarikannya.

Namun semua itu sudah tercerabut. Pengelolaan alam nyaris tanpa kendali dan melampaui batas. Kekayaan alam pun dimonopoli segelintir elit dan menjadi alat kekuasaan untuk menumpuk pundi-pundi harta pribadi. Hak konsesi telah mencabik belantara yang indah menjadi tanah gundul dan gersang. Dampak bencana ekologis yang menimpa masyarakat melengkapkan penderitaan kemiskinan yang kini harus ditelan. Kedok kebijakan Hutan Tanaman Industri yang dipakai perusahaan-perusahaan besar telah membombardir simpanan-simpanan kekayaan terakhir masyarakat.

Masyarakat adatpun kehilangan marwah. Dengan segepok alat tukar, pemangku adatpun tega berkhianat pada masyarakat. Demi membudak kepada para cukong, semua lupa nasib anak cucunya kelak. Para pemimpin pun lepas tangan dan saling menyalahkan. Para wakil rakyat hanya mampu berkicau tanpa ujung, sementara buldozer meluluh lantakkan hutan siang malam tanpa ampun.

 

 

Riau Butuh Panglima Pelestari

Riau adalah salah satu wilayah Indonesia yang berlimpah kekayaan alam, baik yang terkandung di perut bumi, berupa minyak dan gas bumi, mineral, batubara dan sebagainya, juga kekayaan hutan dan perkebunannya, serta kekayaan sungai dan lautnya. Dengan segala yang dimilikinya negeri ini memiliki masa depan kajayaan yang gemilang di segala bidang. Namun demikian, tanpa seorang pemimpin yang berkomitmen melestarikan alam semua itu bisa tiada gunanya.

Spirit cinta lingkungan yang merupakan karakter asal Melayu layaknya digelegarkan kembali. Riau butuh seorang panglima pelestari alam. Kepala-Kepala Daerah dan Para Wakil Daerah berjiwa panglima yang mau turun berperang di gelanggang pertempuran nafsu-nafsu keserakahan. Bukan pemimpin berjiwa kerdil dan oportunis yang tunduk pada uang para pemilik modal.

 

Editor : Eki Maidedi
Komentar Via Facebook :