Membaca Hasil Survei Capres

Membaca Hasil Survei Capres

Ronny Basista, Dosen FHISIP Universitas Terbuka, Direktur Eksekutif Solusi Politik Indonesia

RANAHRIAU.COM - Kita disuguhkan berbagai hasil survei setiap musim pemilu, baik pemilu legislatif maupun pemilu presiden. Yang sering memantik perhatian publik biasanya adalah hasil survei capres. Ada lembaga survei yang menyimpulkan pasangan A yang unggul, ada yang mengunggulkan pasangan B, dan seterusnya. Respon publik terhadap hasil survei pun beragam. Ada yang meyakini hasil tersebut. Ada yang bahkan sangat meyakini terutama karena mereka mendukung pasangan yang diunggulkan hasil survey. Namun ada juga yang skeptis atau bahkan menolak hasil survei sembari menuding lembaga yang menyelengarakan survei tersebut merupakan konsultan capres lawan alias hasil surveinya dianggap pesanan kubu lawan. Bagaimana kita membaca dan menyikapi hasil survei tersebut?

Cara Kerja

Seperti apa sebenarnya cara kerja survei opini publik itu dan bagaimana membedakan cara kerja yang ilmiah dan tidak ilmiah? Agar kredibel, survei mesti menerapkan metode ilmiah dan prinsip probabilitas. Prinsip inilah yang telah mendukung perkembangan ilmu pengetahuan. Untuk mengetahui suatu kebijakan pemerintah diterima dengan baik oleh ataukah mendapatkan penolakan dari masyarakat tidak perlu dengan melakukan sensus atau menanyakan setiap warga satu persatu. Dengan menarik sampel menggunakan prinsip probabilitas maka akan diketahui jawabannya. Metode ini juga digunakan dalam penelitian lainnya seperti ekonomi dan pemasaran. Dengan menggunakan prinsip ilmiah, pengukuran opini publik dapat dipahami sebagai upaya agar lebih tepat mengukur pendapat masyarakat. Opini publik tidak lagi diukur dengan mereka-reka ataupun mendengarkan orang berdiskusi, tetapi dilakukan dengan sebuah standar pengukuran yang pasti.

Adagium semakin banyak orang yang diwawancarai adalah semakin baik tidak lagi dipandang benar. Contohnya adalah polling-polling yang dilakukan melalui media sosial seperti Facebook dan X. Banyak dari kita yang masih merasa hasil polling tersebut sudah mewakili, padahal sesungguhnya tidaklah demikian. Polling jenis ini biasanya diikuti oleh kelompok masyarakat pendukung calon tertentu dengan cara memobilisasi para pengikut untuk memilih jagoan mereka. Mereka berharap hasil survei ini memenangkan mereka. Hasil survei seperti ini tentu saja jauh dari metode ilmiah dan tidak menggunakan prinsip probabilitas. Namun masih saja banyak yang percaya pada hasilnya.

Mengapa Hasilnya Bisa Beda?

Lalu bagaimana cara kita mengetahui hasil survei yang telah berlandaskan metode ilmiah itu? Lembaga survei kredibel lazimnya menampilkan metodenya saat mempublikasikan hasilnya. Dari situ kita bisa memeriksa metodologinya dan bagaimana cara mereka menentukan sampel dan margin errornya. Transparansi adalah kuncinya karena dari situ kita bisa menilai kredibilitas hasilnya. Namun demikian, tidak jarang pula kita menemukan hasil yang berbeda-beda padahal lembaga-lembaga tersebut mengklaim sudah menggunakan metode ilmiah dan mempublikasikannya. Lho, kok bisa?

Ya, jawabannya bisa saja. Selama mereka menggunakan prinsip yang sama maka hasilnya bisa berbeda namun angka itu tidak terlalu jauh. Bagaimana jika ada lembaga yang hasil surveinya berbeda jauh dengan lembaga-lembaga lain? Biasanya lembaga yang hasilnya meleset jauh dari hasil lembaga-lembaga kredibel lainnya merupakan lembaga yang menjadi konsultan politik calon tertentu atau dibayar oleh calon tertentu. Kita masih ingat ada tiga lembaga survei yang memenangkan Prabowo pada Pemilu 2014 dan 2019 yang melenceng jauh dari lembaga-lembaga survei yang ada. Mereka enggan mempublikasikan metode surveinya. Hingga saat ini masih banyak yang percaya pada hasil survei lembaga tersebut dengan menyebut pemenang Pilpres telah berbuat curang. Tentu saja mereka ini adalah golongan fanatik buta yang tidak mau membuka akal pikirannya terhadap ilmu pengetahuan.

Cara lembaga survei memenangkan bosnya adalah dengan menggiring responden untuk menjawab sesuai yang diinginkan. Sebelum masuk ke pertanyaan siapa yang akan dipilih, biasanya responden terlebih dahulu diguyur oleh informasi-informasi dan citra positif tentang calon yang diarahkan. Hal ini berlaku untuk semua jenis pertanyaan. Dengan demikian responden seketika akan memilih calon yang “diarahkan” pensurvei. Modus seperti ini biasanya dilakukan oleh lembaga survei yang dikontrak oleh kontestan, tentu saja dalam rangka meningkatkan popularitas sehingga diyakini akan elektabel. Maka jika kemudian hasil pemilu meleset jauh dari survei lembaga ini, hal itu karena responden mendapatkan informasi berbeda setelah survei dari berbagai sumber dan memutuskan untuk memilih yang berbeda. Hal ini pun tergantung pada seberapa besar persentase undecided voters yang disurvei.

Percaya ke Survei Mana?

Bagi Anda yang ingin dengan jernih melihat hasil survei maka lihatlah hasil survei lembaga yang telah terbukti kredibel. Tidak sulit menemukan lembaga-lembaga mana saja itu. Namun di antara lembaga yang selama ini kredibel ternyata beberapanya sudah dikontrak para capres. Terus, bagaimana?

Tenang saja. Lembaga-lembaga kredibel yang telah dikontrak pasangan capres, khususnya yang posisi sementara bosnya sedang di bawah, tidak berani mempublikasikan hasil surveinya. Mereka masih menyimpannya untuk kalangan internal dan menjadi bahan evaluasi untuk membenahi aspek-aspek mana saja yang perlu ditingkatkan untuk menaikkan elektabilitas. Hingga saat ini, SMRC yang terkenal kredibel, belum berani mempublikasikan hasil surveinya. Sempat bocor hasilnya yang menunjukkan bosnya sedang tidak di posisi teratas malah semakin menurun. Demikian halnya dengan Charta Politika, hingga saat ini masih “membisu.” Hal ini karena pasangan capres mereka masih di posisi kedua bahkan terancam tergeser ke posisi terbawah. Begitu pula PolMark, masih mendistribusikan hasil survei untuk kalangan internal dalam rangka mengejar ketertinggalan dari posisi buncit untuk setidaknya bisa di posisi kedua dan “memaksa” terjadinya putaran kedua. Berbeda halnya dengan Cyrus Network. Lembaga ini justru paling bersemangat mempublikasikan hasil surveinya, karena untuk sementara paling berpeluang memenangi pilpres 2024. Wacana kubu ini bahkan bagaimana agar bisa menang satu putaran saja. Dan, dari ketiga pasangan capres/cawapres memang pasangan inilah yang paling berpeluang meskipun menuju ke angka 50% itu tidaklah mudah.

Dari sini, kita bisa membandingkan sikap lembaga-lembaga kredibel yang terafiliasi dengan capres di atas dengan hasil survei lembaga-lembaga kredibel yang hingga saat ini belum terafiliasi ke manapun. Indikator Politik Indonesia dan Poltracking Indonesia merupakan dua dari beberapa lembaga yang layak dijadikan referensi. Memangnya dari mana dana mereka untuk melakukan survei? Nanti kita bahas tersendiri. Yang perlu diingat, survei ini sifatnya dinamis, persentase bergerak turun dan naik seiring waktu dan perkembangan isu. Semua pasangan masih berpeluang ke putaran kedua. Persoalannya hanyalah kembali ke diri kita saja. Kalau kita mengidolakan calon tertentu, apalagi kalau sudah pada level fanatik, akan sulit bagi kita untuk menerima hasil survei ini. Akan muncul tudingan macam-macam. Tidak percaya pada hasil survei manapun. Oleh karena itu, membaca hasil survei dengan elegan itu adalah dengan bersikap ilmiah. Caranya, cermati metodenya dan telusuri sosok di belakang lembaga tersebut. Kalau masih tidak yakin juga dan tidak bisa menerima kenyataan maka lebih baik kembali ke warkop langganan untuk berbual mengagungkan capres idola.

PENULIS :

Ronny Basista

Dosen FHISIP Universitas Terbuka, Direktur Eksekutif Solusi Politik Indonesia.

 

 

Editor : RRMedia
Komentar Via Facebook :