Sistem Pemilu Terbuka dan Tertutup, Apa Pengaruhnya?
RANAHRIAU.COM- Belakangan hiruk pikuk sistem pemilu di Indonesia agar diubah menjadi ke sistem proposional tertutup menjadi perdebatan ditingkat elit politik partai dan pemerintah. Sistem pemilu yang berlaku pada tahun 2019 adalah sesuai keputusan MK No. 22—24/PUU-VI/2008 yang diputus menjelang Pemilu tahun 2009 dengan sistem proposional terbuka. Dalam lintasan sejarah sistem pemilu di Indonesia hanya ada dua yang sistem proposional tertutup dan terbuka.
Sistem proporsional tertutup diterapkan dalam Pemilu tahun 1955, 1971, 1977, 1982, 1987, 1992, 1997, dan 1999. Sedangkan sistem proposional terbuka pada pemilu tahun 2004, 2009, 2014 dan 2019. Di dunia sistem pemilihan umum dibagi menjadi tiga system, ada sistem pluralitas/mayoritas, sistem proporsional dan sistem campuran. Ketiga sistem tersebut juga memiliki rumpunnya masing-masing
Hasil Sistem Pemilu
Sistem pemilu di Indonesia, apabila berkaca dari pengalaman yaitu hasil pemilu sepertinya ada baiknya dan ada buruknya. Sebenarnya azas kemanfaatan hasil pemilu untuk rakyat harus menjadi titik poin penting penyelenggaraan. Pertanyaan yang harus dijawab adalah “sistem apapun yang dipakai, apakah dapat ,menghasilkan pejabat eksekutif dan legislatif yang hebat dan bersih. Kalau sebaliknya, berarti sistem pemilu yang berjalan bermanfaat buruk bagi masyarakat. Dampak buruk tersebut dari orang yang terpilih adalah bisa dilihat dari data korupsi sejak tahun 2004 hingga per 3 Januari 2023 data Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), terdapat 1261 kasus korupsi yang terjadi, Korupsi yang ditangani KPK saja dari tahun 2004 sampai 2020, 36 persen atau 397 perkara, melibatkan pejabat politik. Anggota DPR/DPRD 257, wali kota/bupati 119. Data korupsi meningkatkan Indeks Perilaku Anti Korupsi (IPAK) di Indonesia tahun 2022 sebesar 3,93 pada skala 0 sampai 5. Angka ini lebih tinggi dibandingkan capaian 2021 (3,88).
Nilai indeks semakin mendekati 5 menunjukkan bahwa masyarakat berperilaku semakin antikorupsi, sebaliknya nilai indeks yang semakin mendekati 0 menunjukkan bahwa masyarakat berperilaku semakin permisif terhadap korupsi. Laporan Transparency International, Indonesia memiliki skor indeks persepsi korupsi (IPK) 34 dari skala 0-100 pada 2022. Skor ini menjadikan Indonesia sebagai negara terkorup ke-5 di Asia Tenggara.
Transparency International melakukan survei indeks korupsi di 180 negara. Skor 0 menunjukkan negara yang sangat korup, dan skor 100 artinya sangat bersih dari korupsi. Menurut laporan tersebut, rata-rata IPK global pada 2022 sebesar 43. Dengan demikian, indeks korupsi Indonesia lebih buruk dari rata-rata dunia. Dalam laporan TII, salah satu indikator penegakan hukum naik. Namun, pada perbaikan layanan/ birokrasi dengan hubungannya terhadap korupsi stagnan. Selain itu, indikator terkait politik dan demokrasi (pemilu) mengalami penurunan skor. Laporan ini menandakan bahwa sektor politik masih rentan terhadap kejahatan korupsi
Kasus korupsi di zaman orde baru yang memakai sistem proposional tertutup juga terjadi, menurut Menkopolhukam di era reformasi, setiap orang siapa saja hingga elite politik dan pejabat apapun bisa melakukan korupsi. Sementara saat Orde Baru, korupsi hanya dilakukan Soeharto dan kroni-kroninya.menurut ICW, Pada era Orde Baru, kekuasaan terpusat sehingga karakteristik korupsi yang seringkali dilakukan adalah membuat peraturan atau kebijakan negara yang tujuannya menguntungkan penguasa ataupun orang terdekatnya. Inilah mengapa sistem pemilu apapun bisa dipakai apabila sistem itu dapat menghasilkan pejabat produk yang bersih dan berkualitas. Jadi sebenarnya kedua sistem sama baiknya, namun ada sesuatu dari input dan proses yang harus diperhatikan sehingga dapat hasil atau produk sistem pemilu yang hebat dan berkualitas.
Selain itu, yang tak kalah penting untuk dicermati adalah, perubahan dan pembuatan suatu aturan seharusnya dilakukan karena memang harus diganti atau dirubah dan hasil dari kajian mendalam, artinya jangan ada suatu kepentingan politik golongan dan kepentingan sesaat. Akbirnya Input, proses dan keinginan perubahan atau pergantian tidak dilakukan untuk kepentingan negara tapi untuk kepentingan tertentu baik itu untuk partai atau golongan.
Kepercayaan Sosial Pemilih
Beberapa kasus kenegaraan khususnya di Indonesia belakangan ini seperti kasus korupsi, kekerasan kelompok,kekuasaan terhadap yang berseberangan dengan kekuasaan, pembiaran kasus agama, penegakan hukum yang masih jauh dari keadilan. Hal ini menandakan saluran politik formal melalui sistem pemilu yaitu partai politik dan politik representasi melaui kontestasi melaui pemilu ternyata tidak bisa menyelesaikan permasalahan dirinya sendiri (Lembaga politik), perbedaan dan keragaman ditengah masyrakat yang heterogen. Berarti ini menandakan bahwa situsi tersebut adalah pertanda penting atas meningkatnya diskoneksi antara pemilih yang telah menetapkan pilihan (vote) dan wakil yang melaksanan pilihan (voice) ditengah masyarakat Indonesia, kemudian pada akhirnya masyarakat kehilangan kepercayaan pada partai pilitik (public trust)
Hasil survei nasional Indikator Politik Indonesia yang dilakukan tahun 2022 hasil menunjukan, tingkat kepercayaan publik terhadap partai politik (parpol) rendah. Dari 12 institusi yang di survey, MPR 67 persen; DPD 65 persen; DPR 61 persen dan Partai Politik 54 persen. MPR, DPR DPD dan partai politik adalah Lembaga dan organisasi yang terhormat, namun masyarakat tidak percaya pada lembaga tersebut karena orang-orang yang mengisinya. Padahal fungsi ketiga lembaga tersebut teramat penting dan sakral bagi keberlangsungan sebuah negara. Orang yang duduk di lembaga tersebut adalah cerminan sebuah demokrasi.
Faktor-faktor yang mempengaruhi kepercayaan masyarakat terhadap partai politik, ditentukan oleh orientasi masyarakat dalam memandang partai politik dan perilaku para anggota dewan dari partai politik. Orientasi masyarakat sendiri, terbentuk dari prakondisi yang dihadapi dalam lingkungannya, apakah lingkungan sosial atau lingkungan politiknya.
Tanpa kepercayaan sosial (rakyat), pada lembaga dan institusi negara tidak akan bisa berfungsi. Kepercayaan masyarakat diperlukan guna menjaga dan mempromosikan nilai-nilai demokrasi, guna mendapatkan penerimaan dan dukungan terhadap produk-produk legislasi dan proses-proses lainnya dan guna menjaga kehormatan dan martabat institusi parlemen.
Muncul ketidakpercayaan muncul karena ada persepsi masyarakat berdasarkan laporan bahwa anggota DPR/MPR dan DPD cenderung tidak responsif terhadap keluhan masyarakat, lebih mendahulukan kepentingan partai dan golongan diatas kepentingan publik, adanya korupsi, kolusi dan nepotisme/kronisme (berdasarkan pertemanan) dalam proses pembuatan kebijakan publik dan terakhir kurangnya komitmen terhadap aspirasi rakyat. Selain itu akhir-akhir ini muncul masalah SARA. Isu SARA bisa muncul karena kegagalan partai politik dan lembaga politik melakukan pendidikan politik kepada kader dan masyarakat serta buruknya proses kaderisasi. isu SARA ini didengungkan karena dinilai paling efektif dalam mendongkrak ataupun menjatuhkan popularitas seseorang.
Fenomena yang aneh akhir-akhir ini juga adalah seorang pejabat ingin dipercaya oleh masyarakat dengan melakukan pencitraan, seperti memakai symbol dan atribut agama, pergi haji, umroh, banyak memberikan bantuan, melakukan pekerjaan seperti bertani dan bertukang, dan mencoba aktif di media sosial. Sepertinya itu dilakukan untuk menarik perhatian masyarakat yang tujuannya untuk meraih kepercayaan sosial dari masyarakat pemilih. Kepercayaan sosial diperlukan karena sebuah kepercayaan adalah suatu keyakinan pada kejujuran, integritas dan dapat dipercaya pada orang lain. Perilaku pejabat pada fenomena tersebut sebenarnya adalah perilaku pencitraan. Kepercayaan sosial berkaitan dengan individu berpartisipasi, berkontribusi atau memperoleh manfaat dari budaya saling mempercayai, atau dari lembaga-lembaga sosial dan politik yang mendorong pengembangan sikap saling mempercayai. Dalam politik (pemilu), pencitraan selalu identik dengan pamer, menonjolkan diri maupun partai yang tujuannya ingin membuat masyarakat atau orang lain terpesona. Pilihan perilaku sengaja dipilih yang dekat dengan kebiasaan aktifitas masyarakat dengan harapan, memunculkan kedekatan yang memang sengaja dibangun demi popularitas. Pencitraan dilakukan agar orang lain melihat diri sebagai orang yang sempurna, baik, pintar, menarik dan kompeten. Caranya menonjolkan berbagai macam kelebihan yang dimiliki dengan sedikit menunjukkan kekurangan rasa bersalah yang dialami.
Keinginan para elit politik untuk mengubah sistem pemilu bagi masyarakat pemilih tidak begitu penting. Kepentingan pemilih adalah apakah hasil pemilu dari sistem apapun dirasakan manfaatnya untuk perbaikan kesejahteraan yang lebih bermakna untuk kehidupan. Persepsi pemilih yang sekarang yang telah terbentuk sebuah kepercayaan adalah sistem pemilu tidak mengubah perilaku elit politik yang dinilai buruk atau tidak merubah kehidupan masyarakat yang lebih baik. Hal yang penting yang harus dilakukan adalah sistem pemilu yang dijadikan dalam pemilu harus diikuti dengan penyiapan calon pejabat yang tidak asal comot, asal popular, asal bos senang saja tapi harus berkarakter, kompeten, memiliki ilmu pengetahuan yang memadai dan berdaya guna untuk masyarakat dan diikuti dengan evaluasi dan tindak lanjut dari evaluasi (follow up). Semua itu harus terukur yang bisa dilihat dari rekam jejaknya.
Penulis : Dr. Harmaini,S.Psi., M.Si, Dosen Fak Psikologi UIN Suska Riau beliau juga aktif berkecimpung di Organisasi Muhammadiyah
Komentar Via Facebook :