Anang Iskandar: Pengadilan gagal mewujudkan tujuan UU No 35 tahun 2009 tentang Narkotika

Anang Iskandar: Pengadilan gagal mewujudkan tujuan UU No 35 tahun 2009 tentang Narkotika

RANAHRIAU.COM- Amerika sebagai negara adidaya dalam sejarahnya mengalami jatuh bangun dalam memberantas sepasang kejahatan yaitu penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika. Keberhasilan memberantas kejahatan  penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika, setelah negara negara bagian AS membentuk Drug Court atau Pengadilan Khusus Narkotika, yang tugas pokoknya menghukum penyalah guna dan pecandu dengan hukuman rehabilitasi.

Sumber hukum penyalah guna narkotika dihukum  rehabilitasi berasal dari Konvensi Internasional

Artinya penyalah guna dihukum rehabilitasi berlaku diseluruh dunia, baik di Amerika, di Indonesia atau negara negara lainnya yang meratifikasi konvensi internasional disesuaikan dengan yuridiksi masing masing negara.

Secara konvensi, yang wajib diperangi dan menjadi musuh bersama negara negara didunia adalah kejahatan peredaran gelap narkotika, dimana kepemilikan narkotika untuk diperdagangkan. Sedangkan kejahatan kepemilikan narkotika untuk dikonsumsi, diberikan hukuman keluar dari hukuman pidana berupa rehabilitasi agar sembuh atau pulih dari sakit ketergantungan narkotikanya.

Politik hukum narkotika di Indonesia

Di Amerika dan Negara Negara lain di Dunia termasuk di Indonesia bahwa: memiliki narkotika dilarang. Kepemilikan narkotika untuk dikonsumsi dan kepemilikan untuk diperdagangkan, masuk dalam yuridiksi peradilan pidana.

Perbuatan mengkonsumsi atau menggunakan narkotika atau menyalahgunakan narkotika, dilarang secara pidana, karena dapat menyebabkan sakit adiksi ketergantungan narkotika dan gangguan mental, kecuali atas petunjuk dokter untuk kepentingan pengobatan.

Bentuk hukuman bagi para penyalah guna narkotika adalah rehabilitasi

Sedangkan bentuk hukuman bagi pengedar sesuai yuridiksi hukum pidana ditambah perampasan aset dengan pembuktian terbalik di pengadilan.

Konstruksi UU no 35/2009 tentang narkotika

Bahwa tujuan dibuatnya UU narkotika yang berlaku sekarang ini adalah: memberantas peredaran gelap narkotika dan menjamin penyalah guna mendapatkan upaya rehabilitasi (pasal 4cd). Artinya pemberantasan terhadap pengedar narkotika harus dibedakan dengan pemberantasan terhadap penyalah gunanya. 

Bentuk hukuman bagi pengedar adalah hukuman pidana minimum yang lamanya ditentukan oleh UU dan perampasan aset dengan pembuktian terbalik di pengadilan. Bentuk hukuman bagi penyalah guna narkotika dan pecandu adalah adalah hukuman rehabilitasi lamanya ditentukan taraf ketergantungan yang dideritanya (pasal 103/2).

Jaminan mendapatkan rehabilitasi bagi penyalah guna berupa:  pertama, jaminan secara non yustisi berupa wajib lapor pecandu (penyalah guna dalam keadaan ketergantungan) untuk mendapatkan rehabilitasi penyembuhan dan pemulihannya agar tidak relapse (pasal 55)

Kedua, jaminan secara yustisi bila penyalah guna telah menjadi pecandu (pasal 54) berupa putusan atau penetapan hakim untuk memerintahkan terdakwa atau yang bersangkutan menjalani rehabilitasi (pasal 103) guna mendapatkan penyembuhan/pemulihan agar tidak mengulangi perbuatannya.

Rehabilitasi adalah satu satunya bentuk hukuman bagi penyalah guna dan pecandu jika terbukti menyalahgunakan narkotika atau menggunakan narkotika tanpa hak dan melanggar hukum (pasal 103/2).

Proses pengadilannya 

Dalam prakteknya, hakim yang memeriksa dan mengadili perkara narkotika, tidak melaksanakan kewajiban sesuai tujuan UU (pasal 4) dan kewajiban khusus untuk menjamin penyalah guna yang menjadi pecandu, dan penyalah guna sebagai korban penyalahgunaan narkotika (pasal 127/2).

Oleh karena itu, meskipun terbukti secara sah melanggar ketentuan pidana tentang kepemilikan, menyalahgunakan untuk dikonsumsi  atau menggunakan narkotika bagi diri sendiri hakim tetap menjatuhkan hukuman penjara (Direktori Putusan Mahkamah Agung).

Penjatuhan hukuman terhadap penyalah guna narkotika dengan hukuman penjara tersebut sebagai kegagalan pengadilan dalam mewujudkan tujuan UU narkotika (pasal 4d).

Akibat kegagalan pengadilan dalam mewujudkan tujuan UU no 35 tahun 2009 tentang narkotika: Lapas over kapasitas dan terjadinya penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika dalam Lapas yang sulit dikendalikan petugas.

Penyalah guna dan penyalah guna yang menjadi  pecandu tidak mendapat layanan rehabilitasi penyembuhan dan pemulihan dari sakit ketergantungan narkotika. Terjadi residivisme atau kecenderungan melakukan pengulangan menyalahgunaan narkotika selama dan sesudah menjalani hukuman penjaranya.

Hal tersebut berdampak buruk bagi penyalah guna dan merugikan pemerintah karena meningkatnya permintaan dan penawaran dalam  perdagangan gelap narkotika di Indonesia.

Perkara pecandu disetting sebagai perkara pengedar. Pertanyaan menggelitik yang sering ditanyakan kepada saya, perkara pecandu seperti apa ? 

UU no 35 tahun 2009 tentang narkotika, tidak menjelaskan apa itu perkara pecandu, tetapi UU  menjelaskan pecandu adalah orang yang menggunakan atau menyalahgunakan narkotika dan dalam keadaan ketergantungan pada narkotika baik secara fisik maupun psikis (pasal 1/13).

Oleh karena itu perkara pecandu adalah perkara menggunakan atau menyalahgunakan narkotika dan penyalah gunanya dalam keadaan ketergantungan narkotika.

Perkara tersebut dewasa ini mendominasi perkara di pengadilan diseluruh Indonesia, dimana perkara pecandu disetting sebagai perkara pengedar, kemudian dituntut sebagai perkara peredaran gelap narkotika dan/atau turut serta melakukan dan/atau membantu pengedar.

Caranya yaitu penyalah guna yang ditangkap, diperlakukan seolah olah sebagai pengedar atau turut serta atau membantu pengedar kemudian disidik, dituntut dilakukan penahanan layaknya  pengedar dan hakim menjatuhkan hukuman penjara.

Dengan setting proses peradilan seperti tersebut diatas, menyebabkan lapas over kapasitas, penyalah guna jauh dari akses rehabilitasi dan terjadi residivisme penyalahgunaan narkotika.

Itu sebabnya saya menyarankan pemerintah membentuk Pengadilan Khusus Narkotika atau Drug Court yang tugasnya memastikan penyalah guna mendapatkan hukuman rehabilitasi.

Indonesia memerlukan Drug Court sebagai jalan keluar karena selama berlakunya UU no 35 tahun 2009 tentang narkotika,  pengadilan yang ada, gagal dalam mewujudkan semangat, cita dan tujuan UU narkotika yaitu menjamin penyalah guna narkotika mendapatkan upaya rehabilitasi.

 

 

Penulis : DR. H. Anang Iskandar SH, MH, Penggiat anti Narkotika Nasional

 

Editor : Abdul
Komentar Via Facebook :