Wawancara Ekslusif bersama Pakar Lingkungan

Gambut itu Conflict Of Interest

Gambut itu Conflict Of Interest

Pekanbaru, RanahRiau.com- terkait dengan peresmian Pusat Lahan Gambut Tropis Internasional oleh Kementerian LHK 30 Oktober silam, membuat banyak pakar lingkungan untuk berkomentar, salah satu diantaranya adalah DR. Elviriadi, MSi. dalam wawancara dengan wartawan yang dikutip oleh RanahRiau.com, Jumat (03/11/2018).

apa tanggapan bapak terhadap Pusat Lahan Gambut Tropis Internasional yang baru diresmikan Kementerian LHK 30 oktober lalu?

Ya, saya melihat Pusat Lahan Gambut Tropis Internasional (ITPC) yang dilunching Kementerian LHK itu kan sebagai rule of model. Utamanya untuk penelitian dan akumulasi pengetahuan terkait gambut. Tentu saja cukup positif, namun demikian tidak dapat menjawab persoalan kerusakan gambut yang mendesak sekarang ini.

karena pokok persoalan terletak pada alih fungsi lahan gambut ke perkebunan dan pertanian massif. Lahan rawa gambut itu fragile (sangat rapuh) dan memiliki karakteristik khas mulai dari vegetasi, keanekaragaman hayati, satwa seperti harimau dan beruang madu, plasna nuftah, sumber pangan dan energi, dan rosot karbon. Nah, lansekap gambut yang demikian itu, secara ekologis memang tidak untuk dikonversi dan dirombak seperti sekarang ini.

Ketika tahun 90-an sampai 2000-an  rawa gambut di rombak total melalui kebijakan HPH dan HTI dan Izin Usaha lainnya, dan yang fenomenal  melalui Proyek Konversi Lahan Gambut Sejuta Hektar oleh pemerintah Soeharto di Kalimantan Tengah tahun 1995 itu, maka perspektif pemerintah dan para pihak terhadap gambut adalah uang. Gambut harus dikonversi menjadi rupiah. Sehingga luluh lantak dan kehilangan fungsi ekohidrologisnya.

Apakah kebijakan keliru itu sudah dievaluasi pemerintah?

Memang ada sedikit perubahan kebijakan pada era Siti Nurbaya (red, Menteri LHK). KLHK lebih kritis terhadap para pihak yang menggerogoti gambut. Keluar Permen LHK untuk mengontrol korporasi berbasis gambut, ada moratorium sebentar,  ada PP 71/2014 yg direvisi memjadi PP 65/2018. Lalu Presiden Jokowi melalui Keppres No 1 tahun  2016 membentuk Badan Restorasi Gambut.

Efektif?

Saya melihat gebrakan Siti Nurbaya cukup bagus, cuma kostelasi politik nasional dan internasional tidak kondusif.

Maksudnya Pak?

Di tingkat nasional kepala negara belum memutuskan kita ini mau industri yang menghabisi sumberdaya alam termasuk gambut atau berhenti (stop) dalam arti moratorium total. Kembali ke kelestarian alam, restorasi back to nature. Evaluasi izin secara tegas, verifikasi tata batas, yang bermasalah dan menimbulkan kebakaran lahan cabut izinnya. Lalu yang difadilitasi modal, saprodi, izin dan teknologi itu ke rakyat kecil dan petani lokal. Kan sudah puluhan tahun diberi ke konglomerat, gambut hancur dan ekonomi pembangunan morat marit.

Secara internasional pula?

Coba lihat, Sekretariat interim Pusat Lahan Gambut Tropis itu, kan dukungan internasional semarak. Sama dengan Cagar Biosfer Giam Siak Kecil di Riau yang juga didukung orang  orang internasional, saya lihat perspektif mereka timpang. Mereka hanya memdukung secara parsial gerakan penyelanatan berbasis proyek. Juga para ilmuan dari Jepang, universitas di eropa dan Asia itu, mereja hanya 'meramaikan'. Peran mereka anat terbatas, mereja tidak holistik untuk perjuangan lingkungan, untuk figh to problem. Artinya ada conflict of interest, konflik kepentingan. Lebih persis nya "confuse of understanding".

Bisa diberikan contoh lain?

Sejak dulu ada konferensi internasional di Stockholm tahun 1982, kemudian di Rio de Jenairo, ada proyokol Kyoto. Pertemuan dunia itu heboh diawal, tapi masing masing kepala negara ragu dan banyak yang ambigu untuk menerapkannya di negara masing masing. Conference on Parties (COP) di Paris dan di jerman itu kan pesertanya paradoks, orang kapitalis MNC penjarah hutan gambut juga ikut rembug dan bersuara lantang. Begitu juga implementasi UNFCC, IPCC dan KTT di Bali, katanya mau menurutkan emisi GRK dan suhu bumi di bawah 2 derjat. Kalau itu beban sejarahnya, yang indonesia dan dunia perlukan adalah fight, war to enemy, perang melawan kapitalisme ekologis, yang bangsa ini perlukan pemimpin yang civilized. Yang ngerti persoalan. Yang baca buku dan mature by conflict. Masak oleh pertarungan pertarungan sosial politik demi memenangkan rakyat, kebenaran dan keadilan ekologis. Soal gambut dan lingkungan  ini bukan saja soal unsur saintifik biogeokimia dan restorasi tata air (water ground table), canal blocking, sumor bor, water bombing, menangkap rakyat pembakar lahan.

Tapi ini harus dibaca dari perspektif ideologi negara, pertahanan keamanan dan stabilitas ekonomi pembangunan. Kalau hutan kita musnah, sumber pangan dan energi kita ikut lenyap, kita menjadi negara lapar yang mudah dijajah dan didikte. Baik melalui skema World Bank, IMF dan epistemologi liberal lainnya. Makanya, saya heran juga kok solusi yang diberikan parsial sekali: bikin Pusat Lahan Gambut, Bikin Laboratorium Gambut, Canal Blocking, Water Bombing, tutup kanal, revegetasi. Yang beginian dah banyak dari dulu. Kalau gini terus, saya khawatir negara ini terus disandera kapitalisne dan elit politiknya selalu gagap dan gamang. Adakah daya intelektual para pemimpin kita sampai ke situ?  Saya kira demokrasi kita menjelang Capres 2019 ini masih belum, ayo kita nikmati saja kekonyolan dan ketololan kolektif ini sebagai tragedi kehancuran ekosistem gambut.



Reporter : Hafiz/Glg



Editor : Abdul
Komentar Via Facebook :