PHR dan Cost Recovery: Kapitalisme Migas yang Menjegal Keadilan Sosial

PHR dan Cost Recovery: Kapitalisme Migas yang Menjegal Keadilan Sosial

Foto: Ist

RANAHRIAU.COM- Ketika PT Pertamina Hulu Rokan (PHR) mulai mewacanakan kembali skema cost recovery dalam pengelolaan minyak Riau, aroma lama dari kapitalisme migas kembali menyengat.

Skema yang sempat “dimakamkan” dengan dalih efisiensi kini hidup lagi—dan, ironisnya, dibungkus dengan jargon nasionalisme energi. Tapi dari kacamata sosialis, ini bukan tentang nasionalisme; ini tentang siapa yang benar-benar menikmati hasil bumi rakyat.

Cost Recovery: Romantika Lama yang Menguntungkan Elit

Bagi rakyat pekerja, istilah cost recovery bukan sekadar istilah teknis—ia simbol ketimpangan struktural.

Di bawah sistem ini, perusahaan migas mengklaim biaya produksi dari negara sebelum membagi hasil. Artinya: rakyat menanggung risiko, korporasi memanen laba.

Inilah wajah klasik kapitalisme sumber daya alam. Ketika perusahaan berbicara soal “biaya operasional,” yang mereka maksud adalah tagihan makan siang direksi, kendaraan dinas, bahkan jet sewaan yang nanti dicatat sebagai biaya eksplorasi. Negara—dengan dalih menjaga produksi—diam saja, bahkan ikut menjustifikasi.

Di Riau, tanah yang diperas habis-habisan sejak era Caltex hingga kini, rakyat hanya jadi penonton. Jalan rusak, lingkungan tercemar, dan sumur minyak tua ditinggalkan seperti kuburan industri.

Kini ketika PHR datang membawa skema lama, rakyat kembali harus bertanya: apa bedanya dari penjajahan korporasi asing dulu?

Nasionalisme Palsu di Balik Bendera Merah Putih

Kembali ke cost recovery sering dikemas dengan narasi “kemandirian energi nasional.”Padahal, kemandirian macam apa jika perusahaan masih bergantung pada pengembalian biaya dari kas negara? Ini bukan kemandirian—ini subsidi terselubung bagi kapital.

Dalam logika sosialisme, sumber daya strategis seperti minyak harus dikelola sepenuhnya untuk kesejahteraan publik, bukan untuk neraca laba BUMN.

PHR, betapapun memakai nama “Pertamina”, tetaplah entitas bisnis yang mengejar profit. Dan ketika profit ditempatkan di atas kepentingan sosial, maka rakyat akan selalu berada di urutan terakhir.

Rakyat Riau: Tanah Kaya, Hidup Melarat

Sudah terlalu lama rakyat Riau hidup di antara ironi: minyaknya melimpah, tapi warganya menjerit harga gas elpiji naik, listrik tak stabil, dan lingkungan hancur.

Ketika cost recovery dijalankan, uang miliaran dolar mengalir—namun bukan ke desa-desa sekitar sumur, melainkan ke laporan keuangan dan tender proyek.

Selama sistem kepemilikan tetap kapitalistik, rakyat hanya akan jadi “pemilik simbolik.” Hasil bumi memang dari Riau, tapi nilai lebihnya—surplus yang lahir dari keringat rakyat dan alam—disedot ke pusat kekuasaan dan elite ekonomi.

Energi untuk Rakyat, Bukan Korporasi

Yang dibutuhkan bukan cost recovery, tapi people’s recovery. Rakyat harus memulihkan haknya atas tanah dan minyaknya sendiri.

Pengelolaan migas semestinya berbasis pada model koperasi energi rakyat, transparan, dan dikontrol oleh publik.

Setiap liter minyak yang diproduksi harus bisa dikonversi langsung menjadi manfaat sosial: sekolah, rumah sakit, subsidi pupuk, atau energi murah untuk rakyat desa.

Jika tidak, maka Riau hanya akan terus menjadi koloni energi—di mana asap industri menutup langit, sementara rakyatnya tetap menyalakan pelita.

Cost Recovery Adalah Reinkarnasi Ketimpangan

Wacana PHR untuk kembali ke cost recovery bukan langkah maju, melainkan mundur ke era eksploitasi terselubung. Ini bukan sekadar isu teknis industri, tapi persoalan kedaulatan ekonomi rakyat.

Selama minyak Riau belum menjadi milik rakyat, bukan hanya di atas kertas tapi dalam sistem pengelolaannya, maka setiap barel yang dipompa adalah simbol ketidakadilan sosial yang terus berulang.

 

Penulis: Abdul Hafidz AR, S. IP, Pimred ranahriau.com, Humas Forum Komunikasi Pemuka Masyarakat Riau. 

 

Editor : RRMedia
Komentar Via Facebook :