Ketika Tanah Dijual, Identitas Pun Tergadai: Membaca Ulang Pernyataan Mahathir

Ketika Tanah Dijual, Identitas Pun Tergadai: Membaca Ulang Pernyataan Mahathir

Hendrianto (tokoh pers Kuansing)

KUANSING, RANAHRIAU.COM - Membaca ulang pernyataan mantan Perdana Menteri Malaysia, Tun Dr. Mahathir Mohamad, mengenai "Melayu banyak kehilangan wilayah" adalah sebuah seruan untuk renungan mendalam, bukan hanya bagi Malaysia tetapi juga bagi seluruh entitas Melayu di Nusantara. 

Pernyataan ini membuka tabir ironi historis dan sosial-ekonomi yang kompleks, di mana faktor kemiskinan dan kebutuhan mendesak menjadi celah bagi hilangnya kepemilikan tanah yang sejatinya adalah fondasi identitas.

Mahathir menyoroti bagaimana Singapura, yang dulunya bagian dari "wilayah Melayu," kini berada di tangan etnis Tionghoa, dan Kepulauan Riau yang jatuh ke Indonesia. Lebih jauh, ia menyebut provinsi-provinsi di Thailand selatan yang memiliki akar Melayu namun kini telah terintegrasi dalam negara tersebut. 

Pengamatan ini, meskipun mungkin memicu perdebatan historis dan geopolitik, sejatinya adalah seruan untuk memahami dinamika perubahan demografi dan kepemilikan yang terjadi dari waktu ke waktu.

Poin krusial yang diungkapkan Mahathir adalah alasan di balik pelepasan aset, terutama tanah, oleh masyarakat Melayu itu sendiri: kemiskinan. "Banyak dari kami orang Melayu yang miskin," ujarnya, "Lalu datanglah orang-orang yang menawarkan harga bagus, dan kami butuh uang untuk pernikahan anak-anak kami, atau untuk menunaikan ibadah haji, dan sebagainya." Ini adalah sebuah pengakuan jujur yang menyentuh inti permasalahan.

Ketika kebutuhan dasar atau bahkan keinginan sosial-budaya terdesak, nilai historis dan identitas tanah seringkali harus dikorbankan. Realitas bahwa "setiap tahun, ribuan hektare tanah Melayu dijual kepada orang lain" dan "setengah dari semenanjung bahkan bukan milik orang Melayu sekarang" adalah peringatan keras. 

Ini adalah cerminan erosi perlahan kepemilikan dan kontrol atas sumber daya yang vital. Tanah tidak hanya berarti properti; ia adalah warisan, penopang ekonomi, dan simbol keberlangsungan suatu kaum. Ketika tanah berpindah tangan secara masif, potensi kemandirian ekonomi dan pelestarian budaya pun terancam.

Apa yang disuarakan Mahathir juga bergema kuat di wilayah Riau, yang secara historis merupakan salah satu pusat kebudayaan dan peradaban Melayu. Masyarakat Melayu di Riau dulunya dikenal memiliki harta berlimpah berupa tanah, warisan turun-temurun yang menjadi penopang hidup dan identitas mereka. 

Namun, realitas saat ini menunjukkan bahwa tanah-tanah tersebut juga ikut tergerus, banyak yang kini dikuasai oleh pihak lain karena terpaksa dijual akibat kebutuhan yang mendesak, persis seperti yang diungkapkan oleh Mahathir.

Ambillah contoh Kabupaten Kuantan Singingi. Dahulu, hamparan tanah yang luas di wilayah ini dikuasai oleh masyarakat Melayu. Kini, ironisnya, puluhan ribu hektare tanah milik orang Melayu sudah banyak yang berpindah tangan. Tanah-tanah ini dikuasai oleh korporasi maupun pendatang luar yang bukan merupakan bagian dari masyarakat Melayu setempat. 

Masyarakat Melayu di Kuantan Singingi, dalam banyak kasus, hanya tersisa dengan kepemilikan tapak rumah, sementara lahan pertanian dan perkebunan yang dulunya menjadi sandaran hidup mereka kini dikuasai oleh pihak luar.

Fenomena ini bukan hanya sekadar transaksi jual beli biasa, melainkan cerminan dari tekanan ekonomi yang memaksa masyarakat adat melepaskan aset paling berharga mereka demi memenuhi kebutuhan hidup.

Argumen Mahathir ini harus dilihat sebagai sebuah desakan untuk merefleksikan kembali kebijakan ekonomi dan sosial yang ada. Apakah ada cukup insentif atau program yang efektif untuk memberdayakan masyarakat Melayu agar tidak terpaksa menjual aset vital mereka? Bagaimana negara dapat memastikan bahwa kepemilikan tanah, yang sarat dengan nilai historis dan identitas, tetap lestari di tangan komunitas aslinya?

Pernyataan ini tidak bertujuan untuk menyalahkan siapa pun secara tunggal, melainkan untuk membangkitkan kesadaran bersama. Ini adalah panggilan untuk melihat lebih jauh dari sekadar transaksi jual beli, dan memahami dampak jangka panjangnya terhadap struktur sosial dan kebudayaan. 

Tanpa perhatian serius dan strategi berkelanjutan, kekhawatiran Mahathir mengenai hilangnya "wilayah" dan identitas Melayu mungkin akan menjadi kenyataan yang semakin sulit dibendung. Lantas, langkah-langkah konkret apa yang perlu diambil oleh pemerintah dan masyarakat Melayu sendiri untuk mengatasi masalah krusial ini? (***)

Ditulis: Hendrianto

Editor : Eki Maidedi
Komentar Via Facebook :