Heboh para Murid ramai-ramai berikan THR untuk Wali Kelasnya, Ini kata Pengamat Pendidikan

Heboh para Murid ramai-ramai berikan THR untuk Wali Kelasnya, Ini kata Pengamat Pendidikan

Foto: Ist, sumber: kompas

JAKARTA, RANAHRIAU.COM- Jagat Maya heboh, Unggahan foto yang menampilkan siswa sekolah dasar (SD) memberikan tunjangan hari raya (THR) berupa barang kepada wali kelas, ramai dibicarakan di media sosial. Foto tersebut diunggah oleh akun X @tanyakanrl pada Senin (1/4/2024) pukul 17.12 WIB.

Dalam unggahan tersebut, tampak beberapa siswa berbaris dan membawa THR berupa makanan dan bahan minuman untuk wali kelasnya. “THR untuk wali kelas 2A. Semoga berkah,” tulis keterangan dalam foto. Hingga Selasa (2/4/2024), unggahan tersebut ditonton lebih dari 1,3 juta kali, disukai lebih dari 11.000 akun, dan mendapatkan komentar lebih dari 1.000 akun.

“Duhhh nanti jadi kebiasaan ya gak sih? Gimana kalo ada orang tuanya yang gapunya ya,” tulis pengunggah. Lantas, apa tanggapan pengamat pendidikan akan fenomena ini?

Hingga Selasa (2/4/2024), unggahan tersebut ditonton lebih dari 1,3 juta kali, disukai lebih dari 11.000 akun, dan mendapatkan komentar lebih dari 1.000 akun.

Tanggapan pengamat pendidikan 

Pengamat pendidikan sekaligus CEO Jurusanku.com, Ina Liem mengatakan bahwa tindakan tersebut merupakan salah satu bentuk gratifikasi. Meskipun tindakan tersebut didasari oleh perasaan sukarela, namun ada unsur tekanan sosial yang terjadi dalam kasus tersebut. 

Saat semua anak memberikan barang kepada guru, anak yang tidak memberi dan hanya duduk saja mungkin akan merasa malu. “Selama ada namanya, atau kelihatan orangnya siapa, meskipun orangnya mengatakan kalau hal tersebut merupakan bentuk terima kasih, itu merupakan gratifikasi,” ungkap Ina saat dihubungi Kompas.com, Selasa (2/4/2024). 

Menurut Ina, dari pihak guru, akan ada rasa “sudah diberi sesuatu” sehingga dapat memicu pilih kasih atau favouritism secara tidak disengaja. Ina juga mempertanyakan tujuan orangtua atau wali murid melakukan tindakan tersebut.

Ina berpendapat, terkadang ada orangtua atau wali yang ingin merasa anaknya mendapatkan posisi “aman” di dalam kelas. Posisi “aman” yang dimaksud juga mempunyai motif yang beragam, seperti mendapatkan nilai yang baik, menaikkan nilai, atau mengikutsertakan anak untuk lomba.

Jadi, orangtua atau wali nantinya akan bertindak membaik-baikkan tenaga pendidikan yang bertugas untuk memberikan nilai kepada anaknya. “Selama ada tujuan seperti itu dari orangtua, mereka akan selalu menemukan kesempatan untuk melakukan hal tersebut, seperti hadiah untuk kenaikan kelas, hari raya, atau lainnya,” ujar Ina.

 Tak bisa langsung melarang 

Lebih lanjut, Ina mengungkapkan, apabila nantinya dinas terkait memberikan hukuman karena viralnya video tersebut, hal tersebut juga tidak akan berdampak signifikan. Hal-hal kecil semacam itu seharusnya dihilangkan secara bertahap, bukan langsung dihilangkan begitu saja.

“Ya memang kita tidak bisa menyangkal ya, kalau di Indonesia budaya memberi dan berterima kasih ini sangat kuat. Kalau langsung larangan bisa dianggap ekstrem di Indonesia,” katanya. Terkait dengan adanya kemungkinan alasan gaji yang rendah, Ina berpendapat bahwa tindakan tersebut juga kurang tepat.

Apabila ada permasalahan gaji yang kurang mencukupi, idealnya guru yang merasakan hal tersebut meminta kepada kepala sekolah untuk mengorganisir kegiatan secara bersama-sama. “Misal ada guru honorer dengan gaji yang tidak layak dan orang tua siswa ingin berterima kasih karena ingin memberi lebih, kalau bisa diorganisir dan sifatnya bukan paksaan,” terangnya. 

 Solusi untuk mencegah gratifikasi

Ina mengatakan bahwa masih ada solusi lain untuk mencegah adanya gratifikasi di lingkungan sekolah. Ia mencontohkan, sebagai ungkapan rasa terima kasih, mungkin sekolah dapat melakukannya secara kolektif dan tidak bersifat individu. Nantinya, para siswa yang ingin memberikan, akan meletakkannya begitu saja di dalam kardus.

Apabila sumbangan tersebut berupa uang, siswa dapat diminta untuk memasukkannya ke dalam amplop tanpa nama. “Kalau kolektif seperti ini jadi lebih baik, siapa saja mau menyumbang boleh. Dan itu nanti akan dibagikan secara merata ke para pendidik,” tuturnya. Menurut Ina, solusi seperti ini lebih mengedepankan rasa berbagi karena tidak ada identitas (anonim) dan antar pendidik pun tidak ada rasa kecemburuan

Editor : RRMedia
Sumber : Kompas.com
Komentar Via Facebook :