Anang Iskandar

Tuntutan Pasal berlapis Catherine WIlson akibatkan Lapas Over Capacity

Tuntutan Pasal berlapis Catherine WIlson akibatkan Lapas Over Capacity

RANAHRIAU.COM- Penuntutan perkara kepemilikan narkotika untuk dikonsumsi dengan barang bukti secara terbatas yang dikenal sebagai perkara penyalah guna bagi diri sendiri seperti yang dilakukan oleh Catherine Wilson dengan pasal berlapis, bertentangan dengan tujuan (pasal 4d) UU no 35 tahun 2009 tentang narkotika.

Tujuan UU narkotika membedakan penegakan hukum antara penyalah guna dan pengedar. Terhadap pengedar narkotika termasuk anggota sindikat solusi penegakan hukumnya, diberantas. Sedangkan terhadap penyalah guna narkotika solusi penegakan hukumnya, dijamin mendapatkan upaya rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial.

Catherine Wilson (Keket) saat ini dalam proses penuntutan di Kejaksaan Negeri Depok sebagai tersangka atau terdakwa penyalah guna, tidak ada keterangan yang menyatakan kepemilikannya untuk diedarkan ataupun dijual. 

Atas dasar bukti yang ditemukan ketika ditangkap, keterangan terdakwa dan pemeriksaan laboratoruim seharusnya Keket dituntut sebagai penyalah guna bagi diri sendiri dengan pasal 127/1 saja dan bila dituntut dengan pasal 127/1 solusinya ditempatkan kedalam lembaga rehabilitasi, karena tidak memenuhi sarat dilakukan penahanan.

Dalam memeriksa perkara penyalah guna narkotika, hakim wajib (pasal 127/2) memperhatikan penggunaaan kewenangan berdasarkan pasal 103 yaitu kewenangan dapat menjatuhkan hukuman rehabilitasi baik terbukti bersalah maupun tidak terbukti bersalah jika Keket dalam keadaan ketergantungan narkotika berdasarkan hasil assesmen.

Tetapi penerapan hukumnya ternyata jauh api dari pada panggang alias menyimpang dari tujuan UU narkotika 

Menurut Herlambang Wisnu Murdianto Kepala Seksi Intelegen Kejaksaan Negeri Depok, Keket dilakukan penahanan selama 20 hari kedepan di Rutan Cilodong Depok, dan dituntut pasal berlapis:

Pertama, pasal 114 ayat 1 yo pasal 132 UU no 35 tahun 2009 tentang narkotika ancaman maksimalnya 20 tahun minimalnya 5 tahun.

Kedua, pasal 112 ayat 1 UU no 35 tahun 2009 yo pasal 132 UU no 35 tahun 2009 tentang narkotika ancamannya maksimal 12 tahun mininal 4 tahun penjara.

Ketiga, pasal 127/1 jo pasal 132 UU no 35 tahun 2009 tentang narkotika ancamannya maksimal 4 tahun penjara (fimela.com 18 Nov 2020)

Artinya Keket dituntut secara primer sebagai pengedar, secara sekunder juga sebagi pengedar dan secara tersier penyalah guna bagi diri sendiri disubsiderkan dengan pengedar sehingga Keket diancam dengan pidana minimum 4 tahun penjara maksimum 20 tahun penjara. 

Penerapan pasal model komulatif atau subsidiaritas ala pidana umum oleh penuntut umum terhadap perkara penyalah guna, bertentangan dengan tujuan (pasal 4) UU no 35 tahun 2009 tentang narkotika. menjadi penyebab penyalah guna ditahan selama penuntutan.

Jika hakim juga mengikuti model tersebut, dan mengabaikan kewajiban hakim yang tertera pada pasal 127/2 berarti Keket dilewatkan pada track yang salah dalam mempertanggung jawabkan perbuatannya.

Perlu diketahui, misi penegak hukum khususnya penuntut umum sesuai tujuan UU yaitu menjamin penyalah guna seperti Keket mendapatkan upaya rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial bukan memberantas. Dengan model penuntutan menggunakan Sistem Peradilan Rehabilitasi yang dibentuk berdasarkan UU no 35 tahun 2009 tentang narkotika.

Model penuntutan secara komulatif dan subsidiaritas tersebut seperti yang disampaikan oleh Kasi Inteligen Kejaksaan Negeri Depok adalah bentuk malpraktek penuntutan perkara penyalah guna narkotika yang secara khusus dijamin UU narkotika dan peraturan pelaksanaannya mendapatkan upaya rehabilitasi.

Kalau keket sebagai anggota sindikat narkotika atau membantu sindikat narkotika internasional, saya bisa memaklumi model tuntutan tersebut. Kalau hakim yang mengadili perkara Keket nantinya memenuhi dakwaan jaksa penuntut umum dan hakim menjatuhkan hukuman minimal 4 tahun dan maksimal 20 tahun, maka dapat dibayangkan betapa melencengnya keputusan hakim dari tujuan UU nya. 

Menurut catatan saya, yang dilanggar Keket adalah pasal 127/1 yaitu  penyalah guna bagi diri sendiri dengan penjelasan sebagai berikut:

1. Keket mengakui perbuatannya menggunakan narkotika bagi diri sendiri tidak untuk dijual atau untuk mendapatkan keuntungan.

2. Yang bersangkutan menggunakan narkotika, sejak dua bulan sebelum ditangkap.

3. Hasil tes urine Keket positif menggunakan narkotika, ini jelas menunjukan bahwa dia penyalah guna.

4. Barang bukti yang ditemukan terbatas untuk dikonsumsi dan ditemukan alat hisap dari tas Keket

5. Hasil pemeriksaan rambut Keket memang positif yang bersangkutan menggunakan narkotika (penjelasan Kabid Humas Polda Metro Jaya).

6. Tidak ada indikasi keket terlibat menjadi anggota organisasi sindikat narkotika baik nasional ataupun Internasional.

7. Keket telah dilakukan assesmen yang berarti telah diketahui taraf kecanduannya bahwa bahwa Keket adalah pecandu dengan taraf kecanduan tertentu.

Menurut SEJA tahun 2019 Perkara penyalah guna bagi diri sendiri yang dialami Keket termasuk perkara yang sumir, karena pelakunya mengakui perbuatannya, barang bukti narkotikanya terbatas untuk pemakaian sendiri, saksi penangkapnya penyidik sendiri, pemeriksaan laboratorium hasilnya positif menggunakan narkotika, barang bukti lainnya juga jelas.

Perkara yang menimpa Keket tersebut menurut SEJA tahun 2019 dapat dilakukan pemeriksaan singkat, bukan pemeriksaan biasa yang menghabiskan energi seperti sekarang ini.

Menurut catatan saya perkara Keket adalah perkara pecandu yaitu perkara  penyalah guna narkotika bagi diri sendiri dan dalam keadaan ketergantungan. Keket adalah pecandu dengan kadar kecanduan tertentu kalau bener benar dilakukan assesmen.

Tidak ada keterangan atau tidak ditemukan indikasi kalau Keket sebagai anggota sindikat peredaran gelap narkotika.

Berdasarkan UU no 35 tahun 2009 tentang narkotika penyalah guna seperti Keket ini yang dijamin UU untuk mendapatkan pengaturan upaya rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial (pasal 4d) dan hakim wajib (pasal 127/2) memperhatikan kewenangan pasal 103 yaitu kewenangan dapat menghukum rehabilitasi sesuai sistem peradilan yang dibangun UU narkotika dimana penyalah guna hukumannya berupa menjalani rehabilitasi.

Sistem Peradilan Rehabilitasi menurut UU narkotika

Sistem peradilan rehabilitasi berdasarkan UU no 35 tahun 2009 tentang narkotika dan peraturan pelaksanaannya ditentukan sebagai berikut:

1. Bahwa penyalah guna dan pecandu dijamin UU no 35 tahun 2009 tentang narkotika, dalam bentuk tujuan UU untuk mendapatkan upaya pengaturan rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial (pasal 4d). 

2. Penyalah guna bagi diri sendiri diancam pidana maksimal 4 tahun penjara (pasal 127/1) sedangkan penyalah guna yang sudah menjadi pecandu diwajibkan menjalani rehabilitasi (pasal 54).

3. Penyalah guna bagi diri sendiri (pasal 127/1) tidak memenuhi sarat dilakukan penahanan karena penyalah guna diancam dengan pidana kurang dari 5 tahun ( pasal 21 KUHAP).

4. Penyalah guna juga tidak memenuhi sarat dilakukan tuntutan berlapis atau tidak dapat dituntut dengan pasal ganda, karena hanya penyalah guna bagi diri sendiri yang dijamin oleh UU narkotika untuk mendapatkan pengaturan upaya rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial.

5. Penyidik, jaksa penuntut umum dan hakim dalam memeriksa perkara penyalah guna bagi diri sendiri tujuannya  (pasal 4d) menjamin penyalah guna direhabilitasi, dengan misi menempatkan kedalam lembaga rehabilitasi sesuai tingkat pemeriksaannya agar sembuh atau pulih seperti sedia kala.

6. Penyidik, penuntut umum dan hakim diberi kewenangan menempatkan tersangka atau terdakwa penyalah guna kedalam lembaga rehabilitasi (pasal 13 PP 25/2011).

7. Hakim wajib memperhatikan pasal 54, 55 dan 103 bila memeriksa perkara penyalah guna (pasal 127/1).
a. Pasal 54, hakim wajib memperhatikan kondisi terdakwa apakah dalam kondisi sebagai pecandu atau korban penyalahgunaan narkotika.

b. Pasal 55, hakim wajib memperhatikan kewajiban penyalah guna dan dalam keadaan ketergantungan apakah sudah melakukan kewajiban wajib lapor dan mendapat perawatan serta statusnya apakah sudah ditentukan tidak dituntut pidana.

c. Pasal 103, hakim wajib memperhatikan penggunaan kewenangan hakim dapat memutus yang bersangkutan menjalani rehabilitasi bila terbukti bersalah dan menetapkan yang bersangkutan menjalani rehabilitasi jika tidak terbukti bersalah.

8. Hukumannya menjalani rehabilitasi. Hukuman rehabilitasi = hukuman pidana, masa menjalani rehabilitasi diperhitungkan sebagai masa menjalani hukuman (pasal 103/2).

Dengan diaturnya sistem peradilan rehabilitasi bagi perkara penyalah guna bagi diri sendiri dalam UU narkotika yang berarti penyalah guna bagi diri sendiri seperti Keket yang diancam pidana sesuai pasal 127/1 seharusnya dalam proses peradilannya mengikuti sistem peradilan sistem peradilan rehabilitasi.

Tidak boleh dituntut dengan pasal berlapis dengan pengedar (pasal 112 dan 114), tidak boleh di-junto-kan dengan pasal lain dan tidak memenuhi sarat dilakukan penahanan, misi penegak hukum menjamin Keket mendapatkan hukuman rehabilitasi.

Saya berharap advokat atau pengacara yang mendampingi Keket melakukan koreksi berupa praperadilan tentang penerapan pasal dan sah tidaknya penahanan,  terhadap langkah jaksa penuntut yang menerapkan pasal ganda dengan tuntutan secara subsidiaritas dan penahanan seperti apa yang dijelaskan Kasi Intel Kejaksaan Negeri Depok.

 

Penulis : DR. H. Anang Iskandar, MH, Penggiat Anti Narkotika Nasional

Editor : Abdul
Komentar Via Facebook :