Dejavu, Musim Baru di Negeri Melayu

Dejavu, Musim Baru di Negeri Melayu

RANAHRIAU.COM- De javu? ya, lantas apa itu dejavu? istilah déjà vu pertama kali diperkenalkan oleh Emile Boirac yang merupakan seorang peneliti di bidang Psikologi berkebangsaan Perancis. Kata déjà vu diambil dari bahasa Perancis, secara harfiah déjà vu artinya “pernah dilihat”. Jadi, déjà vu adalah adalah peristiwa di mana seseorang merasa yakin telah mengalami situasi yang baru namun hal yang sama pernah terjadi sebelummya di masa lalu. 

Menurut sebuah penelitian ada banyak jenis déjà vu yang ada. Akan tetapi tulisan ini tidak akan membahas persoalan tersebut melainkan situasi berulang bagaikan déjà vu di tempat ini. Ya, negeri melayu, bumi lancang kuning, negeri yang masyur dengan sebutan negeri nan kaya raya karena diangurehi yang mahakuasa diatas minyak di bawah minyak kini harus menderita, kembali mengalami sesuatu yang begitu pelik. 

Pemandangan janggal namun sudah berkali-kali terjadi di Provinsi Riau. Kabut asap yang menghalangi pandangan, menyesakkan nafas, membuat lumpuh aktivitas baik itu ekonomi, pendidikan, dan lain sebagainya. Sekolah diliburkan, penerbangan dibatalkan, hewan endemik hangus terbakar dan banyak kerugian lainnya. Ya, kabut asap merupakan musim tambahan di bumi melayu selain musim hujan dan kemarau. Musim dimana negeri yang biasanya nyaman ini sekarang memberikan peringatan bahaya untuk ditinggali. 

Tercatat per 21 september 2019 lalu indeks standar polusi udara (ISPU) mencapai angka 500 ke atas yang artinya masuk kondisi bahaya.

Maka dengan kondisi seperti ini tak sedikit masyarakat yang terkena infeksi saluran pernafasan akut (ISPA), data dari Dinas Kesehatan Pekanbaru per 24 September 2019, tercatat 11.268  warga tekena ISPA. Angka ini masih yang terdata oleh instansi dan hanya di Pekanbaru saja belum termasuk saudara kita di daerah-daerah yang notabenenya mereka lebih dekat ke sumber asap. Jika kita sesak maka dapat dipastikan mereka lebih sesak bahkan ada yang meregang nyawa.

Sebagai putra daerah pekanbaru banyak  pertanyaan muncul dibenak kita, begitu miris hati melihat realita hari ini, sesak di dada lebih dari apa yang disebabkan asap ini. Apa sebenarnya penyebab asap ini? siapa yang harus bertanggung jawab? dan masih bayak lagi pertnyaan pertanyaan lainya.

Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) per 23 september mengumumkan sebanyak 14 perusahaan asing yang di segel karena diduga penyebab karhutla. Persoalan ini jika kita menelisik lebih dalam lagi, maka tak sesederhana itu. Tak semudah segel menyegel perusahaan yang dianggap jadi pelaku tersebut, karena pada dasarnya bukankah perusahaan tersebut beroperasi karena adanya izin dari instansi terkait, dan telah melalui birokrasi yang tampak rapi di negeri ini. sebegitu mudahkah mereka membakar hutan kita? Tidak adakah kontrol dari pemerintah kita? Ataukah negeri bertuah ini penuh sesak oleh kongkalikong konglomerat dan penguasa negeri, sehigga harus menderita rakyat yang tidak tau menau. Yang mereka ketika bangun tidur hendak melaksanakan rutinitas telah disuguhkan asap tanda cinta pelaku pembakaran, negeri ini tambah indah bagaikan negeri di atas awan, mereka kebagian asap dan diterimanya dengan senyum, kemudian rumah sakit penuh, mereka terkapar.

Miris sekali melihat keadaan negeri ini yang kacau, mahasiswa turun ke jalanan berujung bentrok dengan aparat kerena beda kepetingan. Pemandangan yang menyayat hati kerena anak bangsa diadu dompa akibat kepentingan asing. Seaakan muncul rasa dendam akibat kasus-kasus represif baik oleh aparat tak terkecuali oleh demonstran. Semua saling menyalahkan, air mata bercucuran, darah bertumpahan, korban berjatuhan. Lantas adakah yang bisa tertawa melihat hal ini? siapa?.

Kemudian jika menilik sejarah sesuai yang dimuat dalam jurnal penelitian Fakultas Ilmu Sosial dan Politik UGM, maka masalah karhutla bukan lagi masalah baru. Hal ini sudah terjadi sejak para demonstran itu baru atau akan lahir kedunia, ya sejak tahun 1998 hinga hari ini persoalan klasik ini tak kunjung terselesaikan oleh pemerintah. kita lihat data dari hasil identifikasi Polda Riau yang terdekat pada tahun 2014 sebanyak 76 kasus dan dari awal sampai pertengahan 2015 sebanyak 23 kasus yang semuanya melanggar Pasal 108 dan atau Pasal 98 Ayat (1) UU RI Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

Dari kasus sebanyak itu apakah tidak ada evaluasi dari pemerintah dari dulu sampai sekarang? tentu saja ada, mereka pasti juga belajar manajemen organisasi bahkan lebih dalam. Bolehkah kita pertanyakan kapabilitas pemerintah? tentu saja tidak perlu.

Orang yang kita pilih melalui gelaran pesta demokrasi yang menggelontorkan dana yang hanya sedikit dan tanpa korban jiwa itu memiliki segudang ilmu pengetahuan dan rentetan gelar akademis dari dalam dan luar negeri. Mereka juga paham bagaimana sistematika pengendalian yang sudah tersusun rapi dalam peraturan Gubernur nomor 11 tahun 2014 tentang pusat pengendalian kebakaran hutan dan lahan Provinsi Riau dan disempurnakan dengan peraturan Gubernur Riau tahun 27 tahun 2014 tentang prosedur tetap tentang pengendalian bencana asap akibat kebakaran hutan dan lahan di provinsi Riau yang meliputi pencegahan, penanggulang (pemadaman), dan pemulihan. Akan tetapi sepertinya mereka lebih suka pada tahap penanggulangan saja dari dulu.

Kemudian mereka juga sudah paham pastinya tentang struktur tanah Riau yang terdiri gambut yang jika terbakar sulit dipadamkan, kemudian tak perlu diterangkan lagi bagaimana tentang konsep pembangunan berkelanjutan yang tertuang dalam pasal 1 ayat 3 UUPPLH-2009 yang menegaskan bahwasanya pembangunan berkelanjutan memadukan aspek lingkungan hidup, sosial, dan ekonomi ke dalam strategi pembangunan untuk generasi sekarang dan akan datang.
Lantas apakah yang sebenarnya yang kurang? Sekilas jika kita baca sejarah, strategi ekonomi sekarang ini mirip sekali dengan tahun 1870 opendeur politiek (politik pintu terbuka) zaman colonial yang maksudnya untuk kesejahteraan rakyat namun malah sebaliknya. Maka tidak salah sekiranya Bung Karno membiarkan kekayaan negeri ini tidak diolah, jika tidak anak bangsa yang mengolahnya.

Maka hari ini yang harus dilakukan adalah belajar dari kejadian yang telah berlalu, penanam moral, internalisasi dan implementasi nilai agama, serta tingkatkan kapabilitas anak bangsa. Mungkin jika masih saja seperti ini bisa ditambahkan adanya pelatihan dasar kepemimpin terkait moral dan integritas untuk pemerintah yang terpilih. 

Karena hal ini terjadi tidak lain salah satunya karena moral yang tipis tergerus zaman  dan rasa memiliki yang sangat kurang oleh mereka yang mengolah kekayaan ibu pertiwi karena bukan putra bangsa. Terus kawal pemerintahan dan semua stakeholder terkait, sehingga bencana asap tahun 2019 ini adalah bencana asap akibat pembakaran yang terakhir kalinya di bumi Melayu.


Penulis : Armadani, Mahasiswa Jurusan Akuntansi FEB UR, Kabid KPP HMI Komisariat FEB UR

 

Editor : Abdul
Komentar Via Facebook :