Oleh : Rocky Ramadani (Penulis Adalah Direktur Eksekutif Pijar Melayu dan Pemerhati Pemilu.)

Menghilangkan Praktik Money Politik Dengan Pendekatan Kultural

Menghilangkan Praktik Money Politik Dengan Pendekatan Kultural

RanahRiau.com – Tanggungjawab KPU secara Yuridis formal adalah sebagai penyelenggara Pemilu. Akan tetapi, apabila dimaknai secara mendalam, sesungguhnya KPU mempunyai tanggungjawab moral yang lebih besar, tidak saja dalam hal penyelenggaraan Pemilu tetapi juga dalam mewujudkan Pemerintahan yang Demokratis dalam rangka mencapai tujuan dan cita-cita Nasional, yakni masyarakat yang sejahtera, adil dan makmur. Kunci utama dalam keberhasilan Pelaksanaan Pemilu terletak ditangan KPU, akan tetapi KPU perlu di dukung dengan berbagai sumber daya, dana dan dukungan para stakeholders termasuk partai politik, birokrasi pemerintah dan masyarakat.

Ada tiga lembaga penyelenggara pemilihan umum (Pemilu) yaitu pertama  Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang bersifat nasional, tetap dan mandiri, lembaga ini dibentuk oleh pemerintah untuk menyelenggarakan Pemilu yang dilaksanakan setiap 5 (lima) tahun sekali. Kedua Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) yang menjalankan fungsi pengawasan dalam penyelenggaraan pemilu, dan yang ketiga adalah Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP), yaitu lembaga yang menyelesaikan pelanggaran kode etik terhadap penyelenggara pemilu.
Komponen lainnya adalah masyarakat dan partai politik sebagai peserta Pemilu.  Masyarakat terdiri dari perseorangan atau warga negara Indonesia pemegang kedaulatan rakyat yang dapat membina kehidupan yang lebih baik yaitu aman tentram dalam kehidupan yang sejahtera. Partai politik yang merupakan wadah dimana warga negara dapat menyalurkan aspirasinya atau dapat mencalonkan dirinya menjadi wakil rakyat atau menjadi kepala daerah yang sah berdasarkan azas kedaulatan rakyat. Tiga komponen ini yaitu pemerintah, masyarakat dan partai-partai politik merupakan stakeholder, yakni sasaran atau target yang harus dikoordinasikan oleh KPU agar tercapai suatu Pemilu yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil. Oleh sebab itu menciptakan Pemilu berkualitas harus dimulai dari penyelenggaranya dulu yaitu KPU. lalu menciptakan koordinasi yang intensif terkait pelaksanaan yang tertib dan efisien dengan memanfaatkan SDM, logistik, serta akuntabilitasnya.
Dengan mengacu pada UU Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum, Bahwa pemilihan umum merupakan sarana perwujudan kedaulatan rakyat yang aspiratif, berkulitas, dan bertanggung jawab berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Tahun 1945. Ditegaskan pula bahwa  pemilihan umum adalah sarana pelaksana kedaulatan rakyat yang dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, adil dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia bedasarkan pancasila dan UUD 1945.
KPU memiliki tanggungjawab besar dan utama untuk kesuksesan tersebut. Sebab kredibel dan tidaknya panitia penyelenggara, akan berpengaruh besar pada elemen lain yang terlibat dalam proses pemilu termasuk stakeholder itu sendiri. Bagaimana ini bisa diwujudkan? Salah satu kuncinya adalah panitia penyelenggara yang kredibel dan akuntabel. Sehingga terselenggara pemilu yang berkualitas dan transparan, tingginya partisipasi publik, serta berfungsinya seluruh lembaga yang ada. Sering kali budaya money politik menjadi hal yang menjadi pencidera penyelenggaraannya. Pada proses demokrasi level akar rumput, praktik money politik tumbuh subur. Karena dianggap suatu kewajaran, masyarakat tidak lagi peka terhadap bahayanya. Mereka membiarkannya, karena tidak merasa bahwa money  harus dijauhi. Perilaku money politik dalam konteks politik sekarang, sering kali diatasnamakan sebagai bantuan dan lain lain. Money politik adalah ancaman besar terhadap keberlangsungan demokrasi di Indonesia. Oleh karenanya pendekatan kultural merupakan salah satu solusi untuk meminimalisir praktik money politik demi terwujudnya pemilu cerdas dan berkualitas.

Pendekatan Kultural
Kecendrungan penyelenggara pemilu dalam mengatasi praktik money politik saat ini lebih menggunakan pendekatan hukum. Dimana dalam Undang – Undang Nomor 10 tahun 2016 tentang pilkada diatur bahwa baik pemberi maupun penerima uang politik sama sama bisa kena jerat pidana berupa hukuman penjara. Pada pasal 187 poin A ayat (1) disebutkan bahwa orang yang terlibat politik uang sebagai pemberi bisa dipenjara paling singkat 36 bulan dan paling lama 72 bulan atau 6 tahun. Selain hukuman badan, pelaku juga dikenakan denda paling sedikit Rp. 200 juta dan paling banyak Rp. 1 miliyar. Sangsi pidana juga berlaku bagi penerima uang berbau politik. Pada Pasal 187 poin A ayat (2) diatur ketentuan pidana yang sama diterapkan kepada pemilih yang dengan sengaja melakukan perbuatan melawan hukum, menerima pemberian atau janji sebagaimana dimaksud pada ayat (1). Maka dari itu, sudah menjadi tugas bersama untuk mengubah kebiasaan masyarakat menjadi “Kami Menolak Money Politik".
Dalam teori sebenarnya dengan tegas undang – undang sudah ada mengatur bahkan juga ada sangsi pidana bagi pelaku praktik money politik. Namun secara realita dilapangan saat pelaksanaan pemilu, hal ini selalu marak. Bahkan sudah beberapa ada yang ditangkap dan diproses hukum. Pendekatan hukum dalam penindakan praktik money politik hanya mampu menjadi tameng sementara pada saat pemilu. Namun tidak untuk menghilangkannya. Karena disaat ekonomi Indonesia sedang morat marit, para pelaku money politik uang memanfaatkan situasi ini untuk membeli suara rakyat. Mengatasi praktik money politik uang tidak cukup dengan pendekatan hukum, namun dibutuhkan pula partisipasi masyarakat. Apabila hanya dengan mengandalkan penegakkan hukum saja tanpa adanya dukungan dari masyarakat maka praktik politik uang ini akan susah diminimalisr bahkan dihilangkan.
Menurut hemat penulis ada 3 hal yang bisa dilakukan oleh penyelenggara pemilu dalam mengatasi praktik money politik dengan pendekatan kultural yaitu :

1. Melakukan komunikasi dengan para pemegang teraju adat, tokoh masyarakat, tokoh agama, tokoh perempuan dan semua stakeholder dimasing masing daerah hingga ke Desa dalam Mendorong partisipasi masyarakat untuk lebih bersama menolak praktik money politik.

2. Memberikan edukasi politik berbasis pendekatan persuasif. Misalnya di setiap ceramah agama, kegiatan adat, kegiatan masyarakat selalu disampaikan bahaya money politik.

3. Membentuk badan khusus independen pemantau pemilu. Dimana anggotanya adalah Tokoh Masyarakat, pemegang teraju adat, RT,RW,Ketua Pemuda,dan Tokoh Perempuan.

jika semua pihak sudah dilibatkan, maka praktik money politik akan mampu dihilangkan bahkan setidaknya bisa diminimalisir. Sehingga akan terpilih pemimpin yang benar benar di dukung oleh rakyat bukan karena suara dibeli tapi dari nurani masing masing masyarakat.***

 

Editor : Abdul
Komentar Via Facebook :