Jalan juang Jebat Meranti

Jalan juang Jebat Meranti

RANAHRIAU.COM- Tersebab Jebat, cakrawala Melayu bersinar pukau. Dahulu yang ada hanya sembah, daulat Tuanku. Tersebab Jebat, idiom narasi kemelayuan berwajah heroik, " raja alim raja disembah, raja zalim raja disanggah".

Tak ada sejarah yang linier. Semua mendaki, pasang surut, kadang laut datar angin semilir, kadang gelombang besar menghantam biduk.

Nasib Riau, negeri Melayu, tanah subur zamrud Khatulistiwa, muncul sebagai padang perburuan. Gold, Gospen Glory membentang dari kekayaan gambut air merah hingga minyak diatas minyak dibawah. Dan terbeliak lah mata para pecundang negeri, pendatang kapitalis, borjuisme lokal, aaaaach, ini dia patahan nirwana jatuh di Sumatera. Jiwa ringkih nan serakah siap menyental hutan tanah, menyigai, menyingal, meratakan pohon pohon bertuah, hirau pada pekik siamang dan si belang yang marah.

Tiba tiba "Hang Tuah" kontemporer, yang -mengaku- bergelar datuk, tetua, petinggi, pemangku negeri, merapat tanpa umpat. "Tuan tuan, ini negeri kami. Tapi....eeh, anu Tuan....ulou lah...uloulah, tak penuh ke atas, kebawah pun jadi. Daulaaat Tuan Takur, " terdengar suara koor pelan sembunyi.

Dalam aruk eksploitasi asset negeri, hutan tanah tempat berladang yang tergusur korporasi, mata air DAS yang tersumbat sedimentasi, 77 tahun merdeka, suara Riau negeriku semakin tak berarti.

Eeeeeh uh ah, seketika muncul putra watan anak negeri, menyerap ruh jebat, mengeja hidup berliku Tan Malaka. 

Ia berteriak walau sayup, " Lebih Bagus Riau ini, kau ledaki Bom Atom Nagasaki, Daripada Hutan Tanah dan Hak Hak Kami, Kau rampas atas nama investasi atau bukti cinta NKRI.

Jalan Riau, adalah jalan juang sumpah si merah padi. Biar seribu "Hang Tuah" telah berkolabarasi dalam koalisi tangan besi demokrasi,  selalu ada Hang Jebat yang mengadang tanpa senapang hanya dialektika narasi. Dari tanah jantan Meranti, atau Sungai Jantan Siak Sri Indrapuri, akan bergaung suara kami. Toch Sultan Syarif Raja Kami, Tak rela sumbangan ribuan Gulden,  berbuah kampung kampung yang hancai. Gambut rindang nyiur melambai, pulau terbelah rimba bekecai.
 
Tuan harus tau, tanah  Riau bukan silang pertarungan ekonomi. Hutan tanah, ladang dan sungai ialah mastautin merajut cinta ekologi. Tempat bertemu diantara sampan bersapa saudara mara. Alam terkembang saudara kami, ketika senja bersimpuh siul daun keladi.

Monyet siamang, pelanduk dan tungau. Hutan puake penuh jembalang. Sengat sembilang dan gelembung perut buntal tansil ibarat. Kalau hidup hendak selamat, pandai menjaga laut dan selat. Ape tande orang bermutu, merusak hutan hatinye malu.

Tapi tuan, tuan takur yang bermaharaja lela. Jika tuan masih memaksa, negeri makmur porak poranda. Ibarat kampung diamuk garuda. Pergi Tuah,, Hang Jebat Murka. Mengamuk dilaman istana. Taming sari meraung cari pembuat gara. Sekali tercabut azab pun tiba. Walau darah tumpah bersabung nyawa. Marwah terinjak, hilang agama. Inilah warkah melayu datuk laksmana. Dari Hang Jebat from Meranti bin Merana. ***

Penulis: Elviriadi, Penulis essai sastra dan puisi, juga ahli lingkungan hidup dan kehutanan.

Editor : Abdul
Komentar Via Facebook :