Mengenal Kuil Yasukuni, Benteng Neofasisme Jepang hari Ini
RANAHRIAU.COM- Pada 1914, sastrawan kenamaan Jepang Natsume Sōseki berpidato di depan mahasiswa kampus Gakushūin, “Betapa mengerikannya jika kita harus makan demi bangsa, cuci muka demi bangsa, pergi ke toilet demi bangsa!”
Natsume tengah mengkritisi narasi nasionalisme Jepang kala itu. Dia setuju, semangat kebangsaan perlu dipupuk. Pasalnya, Jepang adalah negara kecil dengan sumber daya alam terbatas sehingga rentan jika diserang musuh. Akan tetapi, di mata Natsume, tidak ada ancaman mendesak yang bakal membuat bangsa Jepang musnah dalam sekejap.
Setengah berkelakar dia berkata, “[Huru-hara atas nama bangsa] itu seperti orang yang lari-lari pakai baju pemadam kebakaran, dipenuhi dengan rasa pengorbanan diri, padahal belum ada kobaran api.”
Kritik Natsume tersebut diutarakan tak lama setelah Jepang berpartisipasi dalam Perang Dunia I. Kal itu, Jepang bersekutu dengan Inggris untuk memusuhi Jerman. Sebelumnya, militer Jepang sudah menunjukkan prestasinya dengan mengalahkan pasukan Cina (1894-95) dan Rusia (1904). Aneksasi Korea pada 1910—setelah perang bertahun-tahun—makin melengkapi kesuksesan militer Jepang.
Jepang semakin gencar berekspansi pada dekade 1930-an, dimulai dengan menduduki Provinsi Manchuria, Cina. Tak berapa lama, Jepang merangkul mesra Nazi Jerman dan kemudian turut andil dalam Perang Dunia II. Pasukan Jepang menorehkan momen-momen besar melalui serangan terhadap pangkalan militer Amerika Serikat di Pearl Harbour, dilanjutkan dengan pendudukan Hindia Belanda dan kawasan Asia-Pasifik lainnya.
Sementara tentara Jepang mengobarkan perang di berbagai tempat, Kuil Yasukuni di pusat ibu kota Tokyo hadir sebagai “rumah” bagi jiwa-jiwa yang gugur karena membela Jepang. Kaisar Meiji mendirikan kuil ini pada 1869 sebagai situs pemujaan bagi pejuang Revolusi (1868-69) atau dikenal dengan nama Perang Boshin. Mereka adalah samurai-samurai yang gugur dalam usaha melengserkan Shogun Tokugawa demi mengembalikan kedudukan kaisar sebagai penguasa tertinggi di tanah Jepang.
Hari ini, Kuil Yasukuni juga menjadi ruang ibadah untuk mendoakan sekitar 2,4 juta arwah yang gugur dalam perang melawan Cina, Rusia, Insiden Manchuria, hingga Perang Dunia I dan II.
Kuil Yasukuni mulai jadi kontroversi pada 1978, ketika 14 pemimpin tinggi Jepang turut didoakan di sana. Mereka diketahui sebagai penjahat perang Kelas A—tokoh yang ikut merencanakan dan mengobarkan perang. Pengadilan Sekutu menjatuhkan hukuman mati dan penjara bagi mereka atas kejahatannya selama Perang Pasifik.
Perdana Menteri Koizumi Junichiro (2001-06) dan Abe Shinzō (2006-07, 2012-20) diketahui pernah berdoa di Kuil Yasukuni. Suga Yoshihide, perdana menteri saat ini, juga dikabarkan mengirim persembahan ke kuil pada Oktober. Ritus itu selalu diikuti respon kecewa dari negara-negara yang pernah merasai kebrutalan militer Jepang, seperti Cina dan Korea Selatan. Bagi negara-negara itu, Kuil Yasukuni adalah simbol keganasan militer Jepang di masa lalu.
Ajaran Shintō dan Nasionalisme Jepang Modern
Nasionalisme yang direproduksi oleh Kuil Yasukuni berhubungan erat dengan ajaran Shintō. Secara sederhana, Shintō adalah jalan hidup khas Jepang yang meyakini bahwa umat manusia sebenarnya merupakan keturunan dewa. Shintō berkembang sebagai pembeda dari kepercayaan Buddha yang lebih dulu masuk ke Jepang melalui Cina dan Korea.
Sebagai ideologi nasional, Shinto memandang ritual agama dan pemerintahan layaknya kesatuan. Artinya, kekuasaan harus berada di tangan Kaisar Jepang sebagai keturunan langsung dari Kami atau dewa-dewa Shintō. Hirata Atsutane, intelektual penelaah teks-teks kuno Jepang, adalah salah satu tokoh yang memopulerkan ajaran ini pada awal abad ke-19. Hirata ingin mengimbangi diskursus filsafat di Jepang yang sebelumnya didominasi naskah-naskah Cina kuno, terutama tentang ajaran Buddha dan Konfusianisme.
Hisho Saito dalam A History of Japan (1912, hlm. 109) menyebut, konsep Shintōisme akhirnya tersebar luas dan mendorong lahirnya pandangan umum bahwa Kaisar harus kembali berkuasa. Kaisar dalam Shintoisme merupakan perantara dewa-dewa dan rakyat biasa. Berdasarkan logika tersebut, penguasa lama (rezim Shogun Tokugawa) harus dilengserkan karena dinilai sudah menyalahi jalan hidup otentik orang Jepang.
Seiring dengan bangkitnya Kekaisaran Meiji, ajaran Shintō perlahan dipoles oleh penguasa Jepang sebagai “agama sipil” atau “agama politik”. Namun, alih-alih dimengerti sebagai agama dalam arti harfiah, Shintō lebih berfungsi sebagai pedoman moral agar bangsa Jepang tetap setia terhadap Kaisar dan negara.
Nilai Shintō dapat dengan mudah ditemukan dalam dokumen negara, salah satunya Naskah Kekaisaran tentang Pendidikan. Dalam dokumen yang ditandatangani oleh Kaisar Meiji pada 1890 itu tercantum doktrin, “… selalu hormati Konstitusi dan patuhi aturan; apabila situasi genting terjadi, persembahkan diri kalian dengan berani untuk Negara; dan dengan demikian [kalian ikut] melindungi dan mempertahankan kemakmuran Tahta Kekaisaran Kita…”
Peranan Kuil Yasukuni
Pada mulanya, Kuil Yasukuni dibangun sebagai pusat ritual Shintō untuk memuja pejuang yang gugur demi membela Kaisar Meiji. Kuil Yasukuni kemudian dimanfaatkan sebagai alat politik oleh para jenderal dan pemangku kekuasaan—yang bertindak atas nama kaisar—untuk memobilisasi massa dan membangun semangat kebangsaan.
Situs Nippon menyebut, sebelum Perang Dunia II, Kuil Yasukuni berada di bawah naungan Kementerian Dalam Negeri, Angkatan Laut, dan Angkatan Darat. Kementerian Angkatan Laut dan Darat bertugas menentukan siapa saja yang bisa didoakan di Yasukuni.
Beatrice Trefalt dalam esai “War, Commemoration, and National Identity in Modern Japan, 1868-1975” (2002, hlm. 118) menyebut, Kuil Yasukuni lalu berkembang menjadi suatu “instrumen peringatan atau perayaan”. Kuil Yasukuni tidak sekadar berfungsi sebagai tempat untuk menghormati tentara-tentara yang gugur, tapi juga situs untuk merayakan kesuksesan pasukan Jepang setelah mereka mengalahkan angkatan perang Cina dan Rusia.
Fungsi perayaan ini makin tampak sejak 1882, ketika Museum Yushukan didirikan di samping kuil. Museum itu digunakan untuk memamerkan superioritas militer Jepang, seperti baju perang, persenjataan, hingga barang-barang rampasan dari musuh.
Meskipun didesain sebagai situs sakral, Kuil Yasukuni bukanlah tempat bagi keluarga yang ditinggalkan untuk mengekspresikan duka. Kuil Yasukuni justru menjadi ruang selebrasi kolektif yang memberi makna positif bagi pengunjungnya. Dilansir dari situs resmi Yasukuni, kala peringatan pertama kuil pada 1869, diadakan acara pertandingan sumo—tradisi yang masih berjalan sampai hari ini.
Franziska Seraphim dalam War Memory and Social Politics in Japan, 1945-2005 (2006: 231) mencatat, festival musim semi dan gugur di Kuil Yasukuni pada awal dekade 1890-an diisi berbagai hiburan populer, seperti pacuan kuda, sirkus, sampai pertunjukan drama kabuki (wayang orang). Selain itu, anak sekolah juga biasa berkunjung ke Kuil Yasukuni.
Selama periode 1911-1914, Kementerian Pendidikan Jepang menyusun serangkaian lagu sebagai konten kurikulum pendidikan musik anak SD. Salah satunya, tentu saja, mars berjudul Kuil Yasukuni. Lirik lagunya penuh semangat, mendorong rakyat agar menyerahkan hidupnya demi kuni (negara, bangsa) karena kelak “kehormatannya senantiasa hidup di dunia” dan “jiwanya akan tenang di sini [Yasukuni]”.
Meski narasi nasionalisme Kuil Yasukuni terkesan terkesan militeristik dan maskulin, perempuan juga mempunyai tempat di dalamnya. Takahashi Tetsuya dalam studi “The National Politics of the Yasukuni Shrine” (2006, hlm. 161) mengungkapkan, pada 1941, pernah muncul publikasi berjudul Perempuan Yasukuni. Publikasi itu mengisahkan 41 perempuan yang gugur dalam misi kemanusiaan di medan peperangan. Masih menurut publikasi tersebut, dari total 200 ribu arwah yang didarmakan dan didoakan di Kuil Yasukuni, sekira 50 ribu di antaranya adalah “perempuan berani dan setia”.
Sejumlah orang Korea dan Taiwan yang gugur sebagai tentara Kekaisaran Jepang juga didoakan di Kuil Yasukuni. Dengan kata lain, siapa pun orangnya dan dari mana pun asalnya tetap mendapat tempat di Kuil Yasukuni senyampang tercatat gugur dalam aksi membela Kekaisaran Jepang.
Begitulah ritual di Kuil Yasukuni menjadi bagian dari proses memupuk identitas nasional bangsa Jepang. Di sana, kematian demi kaisar diglorifikasi sebagai suatu prestise dan bentuk kesetiaan terhadap negara. Singkatnya, Kuil Yasukuni adalah manifestasi otentik Jepang yang terdiri atas kepercayaan Shintō, kekaisaran, dan militer.
Yasukuni Sebagai Institusi Independen
Setelah Jepang kalah dalam Perang Dunia II, sesuai arahan Panglima Tertinggi Sekutu Jenderal Douglas MacArthur, Shintōisme tidak lagi berlaku sebagai “agama negara”.
Perintah tersebut tertuang dalam dokumen Shintō Directive (1945) yang bertujuan “memisahkan agama dari negara, mencegah penyalahgunaan agama untuk kepentingan politik, dan memberikan kedudukan sama bagi semua agama, kepercayaan, dan iman”.
Sejak itu, Shintō menjadi agama dalam arti sebenarnya. Namun, hal yang terpenting adalah kuil tempat ibadah Shintō tidak lagi berasosiasi dengan pemerintah. Ia juga terbebas dari unsur-unsur militer dan nasionalisme garis keras. Kuil Yasukuni pun akhirnya ditetapkan sebagai institusi agama yang didanai secara swasta.
Seiring dengan berubahnya status Kuil Yasukuni dan Shintō menjadi institusi nonpemerintah, Kaisar Jepang juga tidak lagi dicitrakan sebagai figur politik dengan sifat kedewaan. Kaisar Hirohito yang bertahta selama 1926-1989 menjadi simbol negara dan pemersatu rakyat Jepang.
Kaisar Hirohito masih mengunjungi Kuil Yasukuni sampai 1975. Keturunannya, Kaisar Akihito (bertahta 1989-2019) dan Kaisar Naruhito, tidak pernah berkunjung. Sedangkan beberapa Perdana Menteri diketahui pernah mengunjungi Yasukuni sejak 1951.
Komentar Via Facebook :