MK Putuskan Tetap Sistem Proporsional Terbuka, Siapa yang Paling Senang?
RANAHRIAU.COM - Tuduhan Denny Indrayana tidak terbukti. Tudingan terhadap Mahkamah Konstitusi (MK) yang sudah sepakat mutuskan Sistem Proporsional Tertutup sebelum pembacaan putusan secara resmi benar-benar tidak terbukti. MK justru memutuskan untuk menolak permohonan perubahan sistem pemilu yang diajukan beberapa pihak. Hanya satu hakim MK yang memiliki pendapat yang berbeda, yang dengan demikian sistem pemilu proporsional terbuka akan tetap diterapkan untuk Pemilu 2024. Lantas siapa pihak yang paling berbahagia atas putusan MK Nomor 114/PUU-XX/2023 ini?
Sejak Pemilu 2009 kita menggunakan sistem pemilu proporsional terbuka. Hal ini sebenarnya bukan perintah dari MK melainkan kesepakatan pemerintah bersama DPR untuk menerapkan sistem proporsional terbuka. Pada akhir 2008 itu, MK yang diketuai Mahfud MD memutuskan untuk mengabulkan permohonan pembatalan aturan mengenai keterpilihan berdasarkan perolehan suara minimal 30% dari kuota (bilangan pembagi pemilih/BPP). Aturan ini dipandang MK rancu, ambigu dan tidak memberi kepastian hukum. Oleh karenanya MK menerima permohonan pembatalan aturan ini dan menyerahkan kepada pembuat undang-undang untuk memperbaikinya. Ternyata pemerintah bersama DPR saat itu menafsirkan bahwa MK mendorong sistem proporsional terbuka sehingga disepakatilah sistem ini.
Padahal, MK hanya mengembalikan kepada para pembuat undang-undang untuk menetapkan aturan yang jelas dan memberi kepastian hukum, apakah sistem proporsional tertutup, terbuka maupun sistem lainnya seperti sistem campuran.
Terlepas dari hal tersebut, penerapan sistem proporsional terbuka telah menimbulkan efek yang positif di samping negatif tentunya. Para pemilih memiliki kuasa untuk memilih calon wakil rakyat yang diinginkannya. Beban biaya kampanye partai politik pun berkurang seiring masing-masing caleg turut membiayai kampanye pemilu, baik mengkampanyekan dirinya secara langsung maupun partainya secara tidak langsung. Meski demikian, persaingan di antara caleg sesama partai makin meruncing, sebab yang berlaku adalah siapa yang memperoleh suara paling banyak ketika total suara caleg dan partai menghasilkan kursi. Kampanye semakin lama berubah dari adu program menjadi ajang kontes popularitas. Usaha para calon yang sudah populer tidaklah sebesar mereka yang tidak populer walaupun kader tulen partai.
Berbagai upaya dilakukan untuk meningkatkan popularitas, di antaranya memberi bantuan materi, mengadakan pertandingan olahraga, dan sejenisnya yang tidak berhubungan dengan program kebijakan yang akan ditawarkan. Praktik jual beli suara pun semakin marak dan menjadi-jadi. Partai politik semakin lama semakin pragmatis, meninggalkan ideologi masing-masing.
Identifikasi kepartaian semakin rendah di kalangan masyarakat. Lambat laun pemilu menjadi pesta, bukan pesta demokrasi sebagaimana yang selalu didengungkan, melainkan pesta jual beli suara.
Dus, yang paling bergembira mendengar putusan MK ini adalah para caleg maupun incumbent anggota dewan yang bukan dari kader murni partai. Mereka yang kader murni partai politik pada dasarnya siap menggunakan sistem apapun. Jika menggunakan sistem tertutup mereka optimis akan mendapatkan nomor urut atas, jika tetap dengan sistem terbuka mereka siap bersaing dengan caleg lainnya.
Sementara para caleg yang tidak memiliki akses kepada pimpinan partai karena bukan kader murni senang dengan sistem terbuka ini. Sistem ini masih membuka peluang bagi mereka untuk terpilih, tergantung usaha dalam meyakinkan pemilih, baik dengan cara konvensional maupun dengan cara yang non konvensional (vote-buying dll).
Bagi sebagian pemilih, praktik sistem proporsional terbuka ini dianggap sudah memberikan mereka kuasa untuk memilih para calon. Kenyataannya, kalau mau jujur, tidak ada calon terpilih yang berhasil meraup suara melebihi BPP, dus keterpilihan mereka dibantu oleh suara kompetitor caleg sesama partai dan suara partai. Keterpilihan mereka yang tidak melampaui BPP ini merupakan salah satu "cacat" dalam sistem proporsional terbuka yang sudah dipraktekkan.
Nah, berdasarkan uraian di atas, apakah dengan demikian saya menolak sistem proporsional terbuka lalu menyukai sistem proporsional tertutup? Tidak. Saya lebih cenderung kita menggunakan sistem pemilihan campuran, apakah Mixed-Member Proportional (MMP) seperti di Jerman dan New Zealand ataukan Mixed-Member Majoritarian (MMM) sebagaimana diterapkan di Jepang, Italia, Argentina, Mexico.
Apakah yang dimaksud dengan sistem MMP dan MMM ini? Nantikan penjelasannya pada tulisan selanjutnya di media ini.
Ronny Basista
Doktor Ilmu Politik, Victoria University of Wellington, New Zealand. Dosen FHISIP Universitas Terbuka.
Komentar Via Facebook :